Teori-teori
pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yakni
menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan
pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum
pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat
diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru
dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana
penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya
dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja
membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat disebut hukum
sanksi istimewa.
Pidana
yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan
akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya
dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar
sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan organisasi sosial
tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib
masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara
melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan
menjalankan pidana.
Mengenai
kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim
yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan
terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai
dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun
masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat
membantunya. Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan
pidana, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori
pemidanaan yang dianut.
Ada
berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien)
2.
Teori relatif atau teori tujuan (doel
theorien)
3.
Teori gabungan (vernegings theorien)
Untuk lebih jelasnya,
diuraikan sebagai berikut:
1.
Teori
Absolut
Dasar
pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana
karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan
kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang
setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap
kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak
dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak
memerhatihan masa depan, baik terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan
pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud
satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan
pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
1.
Ditujukan pada penjahatnya (sudut
subjektif dari pembalasan)
2.
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari
perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
Ada
beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang adanya keharusan untuk
diadakannya pembalasan itu, yaitu sebagai berikut.
1.
Pertimbangan dari sudut Ketuhanan
Adanya
pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber
pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai wakil
Tuhan di dunia. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum
dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan
pidana bagi pelanggarnya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam
undang-undang duniawi harus dihormati dan barang siapa yang melanggar harus
dipidana oleh negara selaku wakil Tuhan dengan sekeras-kerasnya. Pandangan ini
dianut oleh Thomas van Aquino, Stahl, dan Rambonet.
2.
Pandangan dari sudut etika
Pandangan
ini berasal dari Immanuel Kant. Menurut rasio, tiap kejahatan itu haruslah
diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang
dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintahan negara
mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang
dituntut oleh etika tersebut. Penjatuhan pidana ini harus dilakukan meskipun
tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Teori ini dikenal
dengan de ethische vergeldings theorie.
3.
Pandangan alam pikiran dialektika
Pandangan
ini berasal dari Hegel. Menurutnya, pidana harus ada sebagai reaksi dari setiap
kejahatan. Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan. Jika seseorang
melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari
kenyataan adanya hukum. Oleh karena itu, harus diikuti oleh suatu pidana berupa
ketidakadilan terhadap pelakunya untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan
atau kembali tegaknya hukum. Teori ini disebut dengan de dialektische vergeldings theorie.
4.
Pandangan Aesthetica
Menurut
Herbart, pandangan ini berpangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak
dibalas, maka akan menimbulkan rasa tidak puas pada masyarakat. Agar kepuasan
masyarakat dapat dicapai, maka harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang
setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya pidana harus dirasakan
sebagai penderitaan yang sama berat atau besar dengan penderitaan korban atau
masyarakat.
5.
Pandangan dari Heymans
Pandangan
dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan ada niat
pelaku. Ia menyatakan bahwa setiap niat yang tidak bertentangan dengan
kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasaan, tetapi niat yang bertentangan
dengan kesusilaan tidak perlu diberi kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini berupa
penderitaan yang adil. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak
boleh dicapai orang. Pandangan ini tidak bersifat membalas apa yang telah
terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat pencegahan (preventif).
6.
Pandangan dari Kranenburg
Teori
ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia mengemukakan mengenai
pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian, maka
terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang
sederajat. Tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa akan juga
mendapatkan keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih
dahulu diadakannya. Berdasarkan hal itu, bila seseorang berbuat kejahatan yang
berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudahlah
seimbang bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama
dengan penderitaan yang dilakukannya terhadap orang lain.