1. Desentralisatie
Wet 1903
Pada
jaman Hindia Belanda mula-mula tidak pernah ada otonomi daerah dan selfgoverment
di daerah. Pelaksanaan pemerintahan adalah terpusat atau menggunakan sistem
sentralisasi dengan seketat-ketatanya dalam rangka program kolonialistik. Di
daerah-daerah tidak ada lembaga perwakilan, semua pejabat daerah merupakan
pegawai Pemerintah Pusat yang tidak mempunyai kewenangan inisiatif untuk
mengatur dan mengurus daerahnya. Semua pejabat daerah menunggu dan melaksanakan
instruksi dari Pemerintah Hindia Belanda. Jadi semua instansi di segala bidang
dan tingkatan ke bawah sampai ke pelosok-pelosok merupakan aparat vertikal
secara mutlak di bawah perintah dan pengawasan para pegawai-pegawai tinggi
pusat.
Akibatnya,
pengambilan keputusan sangat lambat karena banyaknya masalah yang harus
diputuskan oleh pusat. Selain itu, karena faktor jarak yang terlalu jauh,
sehingga sering keputusan yang diambil tidak sesuai keinginan dan tidak tepat
waktu karena pejabat pejabat pusat tidak cukup memahami permasalahan secara
keseluruhan.
Di
dalam dorongan yang seperti itu terbawa juga pikiran tentang desentralisasi
sebab tugas-tugas pemerintah yang semakin meluas tidak mungkin ditangani secara
sentralistis. Kesemua ini mendorong pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan
dalam tahun 1903 suatu Wethondende Decentralisatie van het Bestuur in
Nederlandsch-Indie (S.1903/329) atau Undang-Undang tentang Desentralisasi tahun
1903. Undang-Undang tentang Desentralisasi tahun 1903 memuat prinsip-prinsip
tentang adanya kemungkinan penerapan desentralisasi dan dekonsentrasi di Hindia
Belanda yang pelaksanaanya diserahkan kepada badan pembentuk peraturan
perundang-undangan rendahan yakni Raja dengan AmvB dan Gubernur Jendral bersama
Raad van Indie dengan ordonantie.
Pada tahun 1922 tuntutan perluasan desentralisasi itu semakin
mendapat angin ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pembaharuan
Pemerintahan yang memungkinkan penyelenggaraan desentralisasi dan dekonsentrasi
secara lebih luas yakni Wet op de Bestuurhervorming (S. 1922/ 24 216) atau UU
Desentralisasi 1922. Undang-Undang ini menitikberatkan pada upaya pembentukan
instansi pemerintahan baru yang dapat memberikan pengalaman politik kepada
penduduk asli melalui pemberian hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dan
pembebanan secara bertanggung jawab.
2.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945
Berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1945 Tentang
Kedudukan Komite Nasional yang mengusung program “Menyusun pemerintahan pusat
dan pemerintahan daerah yang demokratis” ini, negara Indonesia dibagi menjadi 8
propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Propinsi dibagi
lagi dalam beberapa karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Undang-undang
ini mengatur mengenai Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat
Daerah (BPRD), yang berlaku untuk semua daerah kecuali daerah Kesultanan
Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan
sehari-hari dibentuk badan eksekutif yang dipilih kepala daerah. Dengan
demikian, kepala daerah berfungsi sebagai ketua BPRD juga sebagai ketua badan
eksekutif daerah. Di samping mengusung
program pemerintahan demokratis, undang-undang ini juga dimaksudkan sebagai
penegasan adanya perbedaan sistem ketatanegaraan zaman kolonial dan zaman
kemerdekaan. Namun undang-undang tersebut dipandang kurang memuaskan karena
isinya sangat sederhana. Di dalamnya belum ada kejelasan mengenai hubungan
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di samping tidak kejelasan
tentang desentralisasi.
3.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948
Titik berat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948
Tentang Pemerintahan Daerah diletakkan pada sistem pemerintahan daerah yang
demokratis dengan menonjolkan sifat pemerintahan kolegial, dengan menempatkan
komposisi Pemerintah Daerah yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) dan Dewan Pemerintah Daerah (DPD). DPD dipilih oleh dan dari DPRD atas
dasar perwakilan berimbang (pasal 13). Kepala Daerah menjabat
Ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah. Berdasarkan undang-undang ini daerah yang diberi kewenangan untuk
mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri terdiri dari daerah otonom dan
daerah istimewa, yang terdiri atas tiga tingkatan, yakni propinsi, kabuaten
atau kota besar, dan desa atau kota kecil, negeri, marga, dsb. Undang-undang
ini tidak terlepas dari perjuangan bangsa Indonesia untuk mempraktikkan
demokrasi yang seluas-luasnya sebagai upaya menunjukkan kepada dunia luar yang
masih menganggap Pemerintah Indonesia berhaluan fasisme Jepang. Undang-undang
ini tidak berjalan efektif karena Pemerintah Indonesia sedang menghadapi clash dengan Belanda dan juga menghadapi
pemberontakan PKI di Madiun.
Selain itu, terdapat Undang-Undang Nomor 44 Tahun
1950 Tentang Pemerintahan Daerah Indonesia Timur yang isinya sebagian besar
menyadur ketentuan-ketentuan yang
terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 1948 dengan perubahan seperlunya. Menurut UU
Nomor 44 Tahun 1950, daerah otonom terdiri atas tiga tingkatan yaitu daerah,
daerah bagian, dan daerah anak bagian. Pemerintah daerahnya terdiri dari DPRD
dan DPD.
4.
Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1957
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1957 Tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, wilayah
negara dibagi menjadi tiga tingkatan yakni daerah tingkat I termasuk Kotapraja
Jakarta Raya, daerah tingkat II, dan daerah tingkat III. Pemerintah daerah
terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Dewan Pemerintah Daerah. Kepala
daerah karena jabatannya adalah ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. Undang-undang ini dibuat ketika sistem
ketatanegaraan nasional bersifat parlementer, di mana DPR memiliki kedudukan
yang sangat kuat dan menentukan jalannya pemerintahan. Anggota DPR yang dipilih
dalam pemilihan umum multipartai pada gilirannya melahirkan hubungan yang
kurang harmonis antara pemerintah dan DPR.
Dalam pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1957 disebutkan
“DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya ke hadapan Pemerintah
dan DPR, DPRD dapat membela kepentingan daerah dan penduduknya ke hadapan DPRD
atau DPD atasannya”. Dengan ketentuan termaksud, UU ini menempatkan daerah dan
pemerintah pusat sebagai dua pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan yang
bertentangan satu sama lain dan juga menempatkan pemerintah daerah sebagai
penyelenggara kepentingan-kepentingan daerah berlawanan dengan pemerintah pusat
sebagai penyelenggara kepentingan umum nasional.
Namun UU ini tidak bertahan lama setelah Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 yang isinya antara lain mengembalikan sistem politik
nasional berdasarkan UUD 1945.
5.
PENPRES Nomor 6 Tahun 1959
Pada masa berlakunya PENPRES Nomor 6 Tahun 1959 Tentang Pemerintahan Daerah ini, sistem
politik nasional didasarkan pada
“Demokrasi Terpimpin”. Sehingga sistem pemerintahan daerah juga mengikuti ke
arah kebijakan demokrasi ini. Tuntutan otonomi seluas-luasnya bergeser kepada
keharusan demokrasi sesuai dengan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan perwakilan, yang pada waktu itu diberi etiket demokrasi
terpimpin. Pemerintahan daerah terdiri atas kepala daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD). Kepala daerah adalah alat pemerintahan daerah dan alat
pemerintahan pusat (pasal 14). Dalam menjalankan tugas, kepala daerah dibantu
oleh Badan Pemerintah Harian (BPH) dengan tugas membantu kepala daerah dalam
urusan di bidang rumah tangga daerah otonom dan tugas pembantuan dalam
pemerintahan. Dalam penpres tersebut, DPRD hanya berwenang dalam bidang
legislatif dan penetapan APBD.
6.
Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 1965
Satu hal penting dari kelahiran UU Nomor 18 Tahun 1965 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Daerah ialah bahwa
secara keseluruhan UU ini meneruskan "politik otonomi" yang telah
diatur dalam Penpres No. 6/1959 dan Penpres No. 5/1960, kecuali mengenai
hubungan Kepala Daerah dengan DPRD.
Perubahan yang fundamental dari UU No. 18/1965, jika dibandingkan dengan UU
terdahulu mengenai organ Pemerintah Daerah, yaitu :
a) tidak dirangkapnya lagi jabatan Ketua DPRD oleh Kepala
Daerah.
b) dilepaskannya larangan keanggotaan pada sesuatu partai potik bagi
Kepala Daerah dan anggota BPH.
c) tidak lagi Kepala Daerah didudukkan secara konstitutif sebagai sesepuh daerah.
Selanjutnya UU No. 18/1965 hanya mengatur mengenai pemerintahan daerah
berdasarkan asas desentralisasi. Istilah Propinsi, Kabupaten dan Kecamatan dan
sebagaimana halnya dengan istilah Kotaraya, Kotamadya, dan Kotapraja merupakan
istilah teknis, yang dipergunakan untuk menyebut jenis daerah yang berhak
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri. Dengan kata lain istilah Propinsi
dan sebagainya itu bukan nama Daerah Administratif.
Penetapan UU No. 18/1965 yang diharapkan dapat membawa perubahan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah untuk mencapai tertib pemerintahan Daerah
di Indonesia berdasarkan UUD 1945, dalam prakteknya juga tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Prinsip pemberian otonomi yang seluas-luasnya sebagaimana
dianut UU No. 18/ 1965 dipandang dapat membahayakan keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Hal ini tercemin dari TAP MPRS No.XXI/ MPRS/1966 yang
antaranya menghendaki peninjauan kembali UU No. 18/1965. Prinsip pemberian
otonomi yang seluas-luasnya bukan hanya tidak dilaksanakan, tetapi dipandang
dapat menimbulkan kecenderungan pemikiran yang membahayakan keutuhan negara
kesatuan dan tidak serasi dengan tujuan pemberian otonomi yang digariskan GBHN.
7.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974
UU Nomor 5 Tahun 1974 Tentang
Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah menganut
prinsip pemberian otonomi kepada Daerah bukan lagi berupa "otonomi yang
seluas-luasnya", melainkan "otonomi
yang nyata dan bertanggung jawab".
Satu sisi yang amat penting dari UU No. 5/1974 adalah bawah UU ini tidak
semata-mata mengatur pemerintahan daerah berdasarkan asas desentralisasi
(otonomi dan tugas pembantuan), tetapi juga dekonsentrasi.
Ditinjau dari sudut pola hubungan antara Pusat dan Daerah, UU No. 5/1974
berada dalam garis yang sama dengan pola yang dirintis dan dilaksanakan sejak
tahun 1969. Unsur-unsur sentralisasi lebih menonjol dari unsur desentralisasi.
Di samping itu dalam rangka pemberian otonomi kepada Daerah, UU No. 5/1974
meletakkan titik berat Otonomi Daerah pada Daerah Kabupaten/Kotamadya.
UU No.5 Tahun 1974 yang berlaku selama puluhan tahun (1974-1999) boleh
disebut sebagai undang-undang pemerintahan daerah yang paling lama berlakunya
dibanding undang-undang yang pernah ada sebelumnya. Keberadaan UU No 5 Tahun
1974 itu yang begitu lama berlaku tentu saja sangat berpengaruh bagi keberadaan
daerah otonom di Indonesia, meskipun dalam perjalanannya kemudian digugat
sebagai pengaturan bagi daerah otonom, namun nuansa sentralisasi lebih kuat atau
sangat dominan dibanding nuasa desentralisasinya. Keberadaan undang-undang No 5
Tahun 1974 belakangan dipahami oleh banyak kalangan sebagai undang-undang yang
erat kaitannya dengan pemerintahan Orde baru yang sentralistik dan otoriter.
Tetapi apa pun itu, suatu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa UU No 5 Tahun
1974 telah memberikan warna dan pengaruh yang kuat terhadap karakteristik
pemerintahan daerah dan penyelengaraannya, termasuk terhadap para
penyelenggaranya. Salah satu dampak yang sampai saat ini masih bisa dilihat
adalah lemahnya inisiatif daerah (pemerintah daerah) dalam mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri sebagai inti dari otonomi daerah.
8.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999
Bergulirnya era reformasi di tahun 1998, dimana soal otonomi daerah menjadi
salah satu tuntutan pokok dari reformasi. Alhasil dari tuntutan reformasi itu
lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang
Pemerintahan Daerah dan sekaligus mengakhiri orde
otonomi daerah model UU Nomor 5 Tahun 1974
yang sangat sentralistik .
Perubahan akan otonomi daerah terlihat jelas dari petimbangan
UU No.22 Tahun 1999 yang menyebutkan bahwa UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang
Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah tidak sesuai lagi dengan prinsip
penyelenggaraan Otonomi Daerah dan perkembangan keadaan, sehingga perlu
diganti. Mengenai ketidak sesuaian dari UU No.5 Tahun 1974 itu dengan
prinsip-prinsip penyelenggaraan otonomi daerah diuraikan atau tergambar secara
panjang lebar dalam penjelasan UU No.22/1999. Perbedaannya antara lain:
a. Dipisahkannya
dengan tegas antara Kepala Daerah dengan DPRD. Artinya, bila dalam UU No.5/1974
keberadaan DPRD tercakup dalam lingkup pengertian “Pemerintah Daerah”, dalam UU
No 22/1999 ditegaskan bahwa Pemerintah Daerah itu hanya Kepala Daerah dengan
perangkar daerah lainnya dan disebut dengan eksekutif daerah. Dalam konteks
“Pemerintah Daerah”, dirumuskan terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, sedangkan
sebelumnya antara Kepala Daerah dan DPRD berada dalam lingkup “Pemerintah
Daerah”, sehingga ada kerancuan DPRD ditempatkan sebagai bagian dari eksekutif
daerah.
b. Ditempatkannya
Otonomi Daerah secara utuh pada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. Artinya tidak
ada lagi daerah administratif atau yang sebelum\nya disebut dengan pemerintahan
wilayah pada tingkat Kabupaten/Kota sebagaimana adanya pada UU No.5/1974.
c. Dijadikan
Daerah Propinsi dengan kedudukan sebagai Daerah Otonom dan sekaligus Wilayah
Administrasi, yang melaksanakan kewenangan Pemerintah Pusat yang didelegasikan
kepada Gubernur. Daerah Propinsi bukan merupakan Pemerintah atasan dari Daerah
Kabupaten dan Daerah Kota.
d. Daerah
Otonom Propinsi dan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota tidak mempunyai hubungan
hierarki.
e. Berdasarkan
UU No.22/1999 pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah
Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas,
nyata, dan bertanggung jawab. Artinya penyelenggaraan urusan pemerintahan
berdasarkan asas dekonsentrasi hanya pada tingkat Propinsi.
f. Kepala
Daerah bertanggung jawab kepada DPRD dan DPRD dapat memberhentikan Kepala
Daerah apabila DPRD menolak pertantanggungjawaban Kepala Daerah.
g.
Adanya pembagian kewenangan yang tegas antara Propinsi
dengan Kabupaten Kota.
h. Kepala
Daerah baik gubernur maupun bupati/walikota dipilih oleh DPRD, sedangkan
sebelumnya Kepala Daerah diangkat oleh Presiden atas usul DPRD.
9.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004
Pembagian wilayah negara berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ini tidak berbeda dengan UU
Nomor 22 Tahun 1999 yaitu terbagi atas propinsi, kabupaten atau kota, dan desa.
Institusi kecamatan ditempatkan selaku perangkat daerah. Propinsi masih
ditempatkan selaku daerah otonom selaku wilayah administratif. Kabupaten atau
kota adalah daerah otonom.
Revisi UU Nomor 22 Tahun 1999 disamping karena
adanya perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, juga memperhatikan Ketetapan
MPR dan Keputusan MPR, seperti TAP MPR RI Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi
Kebijakan Dalam Penyelaenggaraan Otonomi Daerah.
Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, dalam
penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya. Artinya asas
ini diberlakukan oleh pemerintah seperti era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974.
Hubungan fungsi pemerintahan antara pemerintah dengan pemerintah daerah
dilaksanakan dengan pendekatan sistem otonomi yang meliputi sistem
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Hubungan antar fungsi
pemerintahan ini tidak saling membawahi dan terikat pada hubungan koordinatif
administratif. Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, DPRD adalah unsur
penyelenggara pemerintahan daerah di samping kepala daerah. Kontrol pusat atas
daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang kelihatannya menunjukkan
formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan preventif, represif, dan
pengawasan umum. Peran pusat cukup dominan dalam menentukan sah atau tidaknya
peraturan-peraturan daerah yang dibuat oleh kepala daerah dan DPRD.
Perbedaan yang paling mencolok dalam UU ini dengan
sebelum-sebelumnya adalah pemilihan
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat yang
diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). DPRD memiliki
wewenang sebatas hanya mengawasi jalannya pemilihan langsung tersebut.
Sumber:
·
Ridwan. 2009. Hukum Administrasi di Daerah.
Yogyakarta: FH UII Press.
·
Sunarno,
Siswanto. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah
di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Terima kasih banyak sudah membantu saya mencari artikel tentang penjelasan ringkas Penpres/6/59. Sukses !!
ReplyDeleteBorgata Hotel Casino & Spa - Dr.MCD
ReplyDeleteCasino. 사천 출장안마 Atlantic 정읍 출장샵 City, NJ. 88701. Website. Borgata 보령 출장샵 Hotel 전라남도 출장샵 Casino & Spa. 밀양 출장안마 88701. http://www.borgata.com/ · More · More