1. Prinsip
Kehati-hatian dan Tingkat Kesehatan Bank
Penyehatan
bank berawal dari peluang Paket Oktober (pakto) 1988 yang tidak diimbangi
dengan Sumber Daya Manusia yang memadai, sehingga timbul keterpurukan kondisi
perbankan, yang disebabkan:
-
Merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan;
-
Tingginya
tingkat suku bunga simpanan untuk menarik dana masyarakat yang kehilangan
kepercayaan;
-
Tingginya
bunga berimbas kepada ketidakmampuan
debitur penerima kredit;
-
Perbankan
nasional memiliki pinjaman internasional yang tinggi; dan
-
Bank
tidak dapat menjalankan fungsi intermediasi.
Setelah adanya kegagalan Pakto,
muncullah Paket februari (Paktri) 1991 yang mengatur syarat bahwa modal sendiri
suatu bank harus sebesar 8 % dari
seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau
perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 % mengharuskan bank-bank memperkuat
modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya
sekitar 5 % saja. Kemudian Paktri tersebut dinilai kelewat "menekan"
dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Paket Mei (Pakmei) 1993
yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar 8%.
Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen
modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 8% saja dari laba tahun lalu yang boleh
dimasukkan dalam komponen modal sendiri. Kemudian muncullah Pengumuman Pemerintah 1 november 1997,
pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di
sektor perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang
sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger.[1]
Terdapat empat kewenangan yang
dimiliki Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berwenang dari semua bank
yang ada di indonesia yaitu : terdapat kewenangan Power To License adalah
kewenangan memberikan ijin ; kewenangan Power To Regulated adalah kewenangan
untuk mengatur ; kewenangan Power To Control adalah kewenangan untuk
mengendalikan atau mengawasi. Kewenangan ini terdapat didalam pasal 34 UU
3/2004 ; kewenangan terakhir adalah kewenangan Power To Impose Sanction adalah
kewenangan untuk mengenakan sanksi.
Pengertian
kesehatan bank adalah Kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan
operasional perbankan secara normal & mampu memenuhi semua kewajibannya
dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Banyak kegiatan operasional yang
dilakukan oleh bank untuk memenuhi tingkat kesehatan bank yaitu : Kemampuan menghimpun dana, Kemampuan mengelola dana, Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat, Kemampuan memenuhi
kewajiban kepada pihak lain,
Pemenuhan peraturan yang berlaku.
Ukuran tingkat kesehatan bank di Indonesia
adalah mengukur dengan sistem Camel (Capital,Asset,Management, Earning,
Likuidity) plus. Pengertian adari sistem Camel tersebut adalah sistem yang
menilai keadaan keuangan bank juga menilai keadaan atau unsur-unsur yang tidak
termasuk dalam keadaan keuangan bank faktor plus yaitu kepatuhan terhadap
peraturan-peraturan khususnya peraturan di bidang perbankan.
Suatu
bank dikatakan bermasalah apabila bank mengalami suatu kesulitan yang dapat
membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank yang
semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset,
likuiditas, dan lain sebagainya, hal tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang
sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Bank yang
bermasalah dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1.
Bank
yang bermasalah secara struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi yang
sangat parah dan setiap saat dapat terancam keberlangsungannya. Karakteristik
bank yang masuk ke dalam kategori ini antara lain kualitas aktiva produktif
tidak sehat, mengalami rugi cukup besar serta likuidasi yang buruk. Keadaan
yang seperti ini biasanya disebabkan pemilik banyak ikut campur tangan dalam
pengelolaan manajemen yang dapat dilihat dari besarnya kredit yang diberikan
kepada grup atau kelompok pemilik.
2.
Bank
yang bermasalah secara non-struktural, yang masuk ke dalam kategori ini
biasanya dengan karakteristik pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam
pengelolaan manajemen dan menyadari kesalahannya. Dan walaupun bank dalam
kondisi rentabilitas cenderung memburuk, namum modal bank masih mencukupi
penyediaan modal minimum. Kategori bank seperti ini memiliki tingkat kesehatan
yang kurang atau tidak sehat.[2]
Pasal
37 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang diubah menetapkan langkah-langkah yang
perlu dilakukan terhadap bank bermasalah agar tidak terjadi pencabutan izin
usaha dan / atau tindakan liquidas. Hal ini dilakukan dalam rangka
mempertahankan atau menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.
Apabila
terdapat penyimpangan terhadap aturan tentang kesehatan bank, Bank Indonesia
dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu dengan tujuan dasar agar bank
bersangkutan. Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh bank Indonesia
untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang dihadapi suatu bank yaitu :
a) Pemegang saham menambah modal ;
b) Pemegang saham mengganti dewan
komisaris dan/atau direksi bank ;
c) Bank menghapusbukukan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet , dan memperhitungkan
kerugian bank dengan modalnya;
d) Bank melakukan merger atau konsolidasi
dengan bank lain ;
e) Bank dijual kepada pembeli yang
bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f)
Bank
menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain ;