1. Prinsip
Kehati-hatian dan Tingkat Kesehatan Bank
Penyehatan
bank berawal dari peluang Paket Oktober (pakto) 1988 yang tidak diimbangi
dengan Sumber Daya Manusia yang memadai, sehingga timbul keterpurukan kondisi
perbankan, yang disebabkan:
-
Merosotnya
kepercayaan masyarakat terhadap perbankan;
-
Tingginya
tingkat suku bunga simpanan untuk menarik dana masyarakat yang kehilangan
kepercayaan;
-
Tingginya
bunga berimbas kepada ketidakmampuan
debitur penerima kredit;
-
Perbankan
nasional memiliki pinjaman internasional yang tinggi; dan
-
Bank
tidak dapat menjalankan fungsi intermediasi.
Setelah adanya kegagalan Pakto,
muncullah Paket februari (Paktri) 1991 yang mengatur syarat bahwa modal sendiri
suatu bank harus sebesar 8 % dari
seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio atau
perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 % mengharuskan bank-bank memperkuat
modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya
sekitar 5 % saja. Kemudian Paktri tersebut dinilai kelewat "menekan"
dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Paket Mei (Pakmei) 1993
yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar 8%.
Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen
modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 8% saja dari laba tahun lalu yang boleh
dimasukkan dalam komponen modal sendiri. Kemudian muncullah Pengumuman Pemerintah 1 november 1997,
pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di
sektor perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang
sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger.[1]
Terdapat empat kewenangan yang
dimiliki Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berwenang dari semua bank
yang ada di indonesia yaitu : terdapat kewenangan Power To License adalah
kewenangan memberikan ijin ; kewenangan Power To Regulated adalah kewenangan
untuk mengatur ; kewenangan Power To Control adalah kewenangan untuk
mengendalikan atau mengawasi. Kewenangan ini terdapat didalam pasal 34 UU
3/2004 ; kewenangan terakhir adalah kewenangan Power To Impose Sanction adalah
kewenangan untuk mengenakan sanksi.
Pengertian
kesehatan bank adalah Kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan
operasional perbankan secara normal & mampu memenuhi semua kewajibannya
dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Banyak kegiatan operasional yang
dilakukan oleh bank untuk memenuhi tingkat kesehatan bank yaitu : Kemampuan menghimpun dana, Kemampuan mengelola dana, Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat, Kemampuan memenuhi
kewajiban kepada pihak lain,
Pemenuhan peraturan yang berlaku.
Ukuran tingkat kesehatan bank di Indonesia
adalah mengukur dengan sistem Camel (Capital,Asset,Management, Earning,
Likuidity) plus. Pengertian adari sistem Camel tersebut adalah sistem yang
menilai keadaan keuangan bank juga menilai keadaan atau unsur-unsur yang tidak
termasuk dalam keadaan keuangan bank faktor plus yaitu kepatuhan terhadap
peraturan-peraturan khususnya peraturan di bidang perbankan.
Suatu
bank dikatakan bermasalah apabila bank mengalami suatu kesulitan yang dapat
membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank yang
semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset,
likuiditas, dan lain sebagainya, hal tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang
sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Bank yang
bermasalah dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1.
Bank
yang bermasalah secara struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi yang
sangat parah dan setiap saat dapat terancam keberlangsungannya. Karakteristik
bank yang masuk ke dalam kategori ini antara lain kualitas aktiva produktif
tidak sehat, mengalami rugi cukup besar serta likuidasi yang buruk. Keadaan
yang seperti ini biasanya disebabkan pemilik banyak ikut campur tangan dalam
pengelolaan manajemen yang dapat dilihat dari besarnya kredit yang diberikan
kepada grup atau kelompok pemilik.
2.
Bank
yang bermasalah secara non-struktural, yang masuk ke dalam kategori ini
biasanya dengan karakteristik pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam
pengelolaan manajemen dan menyadari kesalahannya. Dan walaupun bank dalam
kondisi rentabilitas cenderung memburuk, namum modal bank masih mencukupi
penyediaan modal minimum. Kategori bank seperti ini memiliki tingkat kesehatan
yang kurang atau tidak sehat.[2]
Pasal
37 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang diubah menetapkan langkah-langkah yang
perlu dilakukan terhadap bank bermasalah agar tidak terjadi pencabutan izin
usaha dan / atau tindakan liquidas. Hal ini dilakukan dalam rangka
mempertahankan atau menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.
Apabila
terdapat penyimpangan terhadap aturan tentang kesehatan bank, Bank Indonesia
dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu dengan tujuan dasar agar bank
bersangkutan. Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh bank Indonesia
untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang dihadapi suatu bank yaitu :
a) Pemegang saham menambah modal ;
b) Pemegang saham mengganti dewan
komisaris dan/atau direksi bank ;
c) Bank menghapusbukukan kredit atau
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet , dan memperhitungkan
kerugian bank dengan modalnya;
d) Bank melakukan merger atau konsolidasi
dengan bank lain ;
e) Bank dijual kepada pembeli yang
bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f)
Bank
menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain ;
Dari
penggolongan bank bermasalah seperti yang telah dijelaskan seperti di atas,
maka dapat dilakukan proses penyehatan bank bermasalah yang dapat dilakukan
oleh pemerintah melalui Bank Indonesia selaku Bank utama di Indonesia. Dalam
melaksanakan penyehatan bank bermasalah dibentuk suatu badan khusus yanng
bersifat sementara, badan khusus tersebut memiliki wewenang seperti yang telah
dijelaskan di dalam Undang-undang No.10 tahun 1998, yaitu antara lain:
-
Mengambil
alih dan menjalankan semua hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan
wewenanng Rapat Umum Pemegang Saham;
-
Mengambil
alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang direksi dan komisaris bank;
-
Menguasai,
mengelola, dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang
menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik
luar maupun dalam negeri;
-
Meninjau
ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah kontrak yang mengikat bank
dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan khusus merugikan bank;
-
Dan
lain-lain.[4]
Selanjutnya,
apabila usaha-usaha tersebut belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi oleh bank, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham untuk membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi. Dan bila
pembubaran bank tidak dapat dilaksanakan secara sukarela, maka dapat
dilaksanakan secara paksa.
Tingkat
kesehatan suatu bank merupakan kepentingan semua pihak yang terkait, baik
pemilik maupun pengelola bank, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank
Indonesia sebagai pembina dan pengawas bank. Sesuai dengan tanggung jawabnya,
masing-masing pihak tersebut perlu mengingatkan diri dan secara bersama-sama
berupaya mewujudkan bank yang sehat. Oleh karena itu, adanya ketentuan mengenai
tingkat kesehatan bank adalah dimaksudkan sebagai berikut:
1.
Tolak
ukur bagi manajemen bank untuk menilai apakah pengelolaan bank telah dilakukan
sejalan dengan asas-asas perbankan yang sehat dan sesuai dengan ketentuan yang
berlaku;
2.
Tolak
ukur untuk menetapkan arah pembinaan dan pengembangan bank, baik secara
individual maupun perbankan secara keseluruhan.
Tingkat
Kesehatan Bank sebagai ukuran pencapaian kinerja bank yang komprehensif
merupakan input untuk planning
ke depan. Bagi bank, tujuan penilaianTingkat Kesehatan Bank adalah
memperoleh gambaran mengenai tingkat kesehatan bank sehingga dapat digunakan
sebagai input bagi bank dalam menyusun strategi dan rencana bisnis ke depan
serta memperbaiki kelemahan-kelemahan yang berpotensi menganggu kinerja bank.
Bagi regulator, penilaian tingkat kesehatan bank menjadi input dalam menyusun
strategi dan rencana pengawasan bank yang efektif sehingga bersama-sama dengan
bank dapat menciptakan individual bank dan sistem perbankan yang sehat dan
berkesinambungan.[5]
Badan khusus yang dimaksud dalam UU No
10 tahun 1998 di atas adalah Badan Penyehatan Bank Nasional (BPPN), yang
dibentuk berdasarakan PP RP No.17 tahun 1999 yang sifatnya temporer atau
sementara yaitu selama 5 tahun, namun masih bisa diperpanjang lagi bila masih
diperlukan. Bila telah lewat 5 tahun pemerintah menilai BPPN telah menyelesaikan
tugasnya maka dinyatakan berakhir melalui Kepres dan segala kekayaan BPPN
mennjadi milik negara.
Perlindungan
secara langsung oleh dunia perbankan terhadap kepentingan nasabah yang telah
menyimpan dana adalah suatu perlindungan hukum yang harus diberikan kepada
nasabah penyimpan dana dengan segala resiko kerugian yang timbul dari suatu
kebijaksanaan atau timbul dari kegiatan usaha yang dilakukan oleh bank.
Banyak
cara upaya dan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh bank yang
bersangkutan untuk nasabah sebagai penyimpan dana yakni Perlindungan seacar
langsung dan Perlindungan secara tidak langsung.
Perbedaan
upaya sangat mempengaruhi upaya dan tindakan pencegahan diatas, berikut
perbedaan nya jika upaya perlindungan secara langsung : Hak preferen nasabah
penyimpan dana dan Lembaga asuransi deposito. Sedangkan upaya perlindungan secara
tidak langsung adalah : Prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Batas
Maximum Pemberian Kredit (BMPK), Kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan
laba rugi, Merger, Konsolidasi, dan Akusisi Bank.[6]
Menurut
ketentuan pasal 2 UU no 10 tahun 1998
dikemukakan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian. Dari ketentuan ini,
menunjukan bahwa prinsip kehati-hatian adalah salah satu asas terpenting yang
wajib diterapkan atau dilaksanakan oleh bank dalam menjalankan kegiatan
usahanya.
Tujuan
dari prinsip kehati-hatian adalah bank dapat berhati-hati dalam menjalankan
kegiatan usahanya sesuai dengan ketentuan / peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan asas itikad baik.
Prinsip
kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menegaskan bahwa bank dalam menjalankan
kegiatan usaha baik dalam penghimpunan terutama dalam penyaluran dana kepada
masyarakat harus sangat berhati-hati. Tujuan dilakukannya prinsip kehati-hatian
ini agar bank selalu dalam keadaan sehat menjalankan usahanya dengan baik dan
mematuhi ketentuan-ketentuan dan norma-norma hukum yang berlaku di dunia
perbankan. Prinsip kehati-hatian tertera dalam Pasal 2 dan Pasal 29 ayat (2) UU
No 10 tahun 1998. [7]
Merger
adalah proses difusi dua perseroan dengan salah satu diantaranya tetap berdiri
dengan nama perseroannya sementara yang lain lenyap dengan segala nama dan
kekayaannya dimasukan dalam perseroan yang tetap berdiri tersebut.
Merger terbagi menjadi tiga, yaitu: Merger Horizontal adalah merger yang dilakukan oleh usaha sejenis (usahanya sama), misalnya merger antara dua perusahaan roti, perusahaan sepatu, yang kedua Merger Vertikal adalah merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, misalnya dalam alur produksi yang berurutan. Contohnya: perusahaan pemintalan benang merger dengan perusahaan kain, perusahaan ban merger dengan perusahaan mobil, yang ketiga Merger Konglomerat adalah merger antara berbagai perusahaan yang menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda dan tidak ada kaitannya, misalnya perusahaan sepatu merger dengan perusahaan elektronik atau perusahaan mobil merger dengan perusahaan makanan. Tujuan utama konglomerat ialah untuk mencapai pertumbuhan Badan Usaha dengan cepat dan mendapatkan hasil yang lebih baik. Caranya ialah dengan saling bertukar saham antara kedua perusahaan yang disatukan. Tujuan Merger antara lain:
Merger terbagi menjadi tiga, yaitu: Merger Horizontal adalah merger yang dilakukan oleh usaha sejenis (usahanya sama), misalnya merger antara dua perusahaan roti, perusahaan sepatu, yang kedua Merger Vertikal adalah merger yang terjadi antara perusahaan-perusahaan yang saling berhubungan, misalnya dalam alur produksi yang berurutan. Contohnya: perusahaan pemintalan benang merger dengan perusahaan kain, perusahaan ban merger dengan perusahaan mobil, yang ketiga Merger Konglomerat adalah merger antara berbagai perusahaan yang menghasilkan berbagai produk yang berbeda-beda dan tidak ada kaitannya, misalnya perusahaan sepatu merger dengan perusahaan elektronik atau perusahaan mobil merger dengan perusahaan makanan. Tujuan utama konglomerat ialah untuk mencapai pertumbuhan Badan Usaha dengan cepat dan mendapatkan hasil yang lebih baik. Caranya ialah dengan saling bertukar saham antara kedua perusahaan yang disatukan. Tujuan Merger antara lain:
1. Diversifikasi untuk pertumbuhan.
2. Diversifikasi menurut pasar atau
pelanggan untuk mengimbangi faktor-faktor musiman, untuk menetralisir pasar
produk yang menurun, dan sebagainya
3. Perluasan,penyempurnaan,atau
komplementasi lini produk
4. Mendapatkan kemampuan riset dan
pengembangan yang diperlukan.
5. Penciptaan atau perolehan lini
produk baru.
6. Integrasi, sehingga mendapatkan
penawaran yang cukup dari bahan-baku atau suku cadang yang kritis.
7. Perluasan pasar, termasuk pasar di luar
negeri yang belum dijamah.
8. Memperbaiki manajemen.
9. Memperoleh fasilitas-fasilitas
pengolahan atau riset yang baru.
Sedangkan
Pengertian dari konsolidasi adalah penggabungan dua bank atau lebih menjadi
satu sehingga terbentuk bank baru dan membubarkan bank-bank tersebut tanpa
melikuidasinya terlebih dahulu. Berbeda
halnya dengan pengertian akuisisi, istilah dari akuisisi sendiri berasal dari
bahasa Inggris ”acquisition” yang dalam sering disebut juga dengan “take over”
.
Yang
dimaksud dengan ”acquisition” atau ”take over” tersebut ialah pengambilalihan
suatu kepentingan pengendalian perusahaan oleh suatu perusahaan lain (one
company taking over controlling interest in another company) . Ungkapan take
over sendiri terdiri dari ”friendly take over” (akuisisi bersahabat) atau
akuisisi biasa, serta “hostile take over” (akuisisi tidak bersahabat) atau
sering diistilahkan sebagai pencaplokan perusahaan.
Pengambilalihan
tersebut ditempuh dengan cara membeli hak suara dari perusahaan (the firm
voting stock) atau dengan kata lain membeli saham dari perusahaan tersebut.
Pengertian yang lain adalah Pengambilalihan kepemilikan suatu bank yang
mengakibatkan beralihnya pengendalian bank. Tindakan pengambilalihan tersebut dapat
dilakukan perseorangan/badan hukum baik melalui pembelian saham secara langsung
maupun pembelian saham melalui bursa efek, dengan membeli sebagian jumlah saham
bank yang mengakibatkan beralihnya pengendalian bank kepada pihak yang
mengakuisisi. [8]
Berikut adalah tujuan Akuisisi antara lain:
1. Membeli product lines untuk
melengkapi product lines dari perusahaan yang akan mengambil alih.
2. Untuk memperoleh akses pada
teknologi baru atau lebih baik pada perusahaan yang menjadi objek
pengambilalihan.
3. Memperoleh pasar atau pelanggan
baru.
4. Memperoleh hak pemasaran atau hak
produksi yang belum dimiliki.
5. Memperoleh kepastian atas pemasokan
bahan baku yang kualitasnya baik yang dipasok perusahaan objek akuisisi.
6. Melakukan investasi atas keuangan
perusahaan yang berlebih dan tidak terpakai.
7. Mengurangi atau menghambat
persaingan.
8. Mempertahankan kontinuitas bisnis.
2. Penanganan Bank Bermasalah
A.
Dalam Undang-Undang Perbankan
Undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang
perbankan sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 10 tahun 1998
Pasal 37 menjelaskan:
(1) Dalam
hal suatu bank mengalami kesulitan yang membahayakan kelangsungan usahanya,
Bank Indonesia dapat melakukan tindakan agar:
a. pemegang
saham menambah modal;
b. pemegang
saham mengganti Dewan Komisaris dan atau Direksi bank;
c. bank
menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang macet
dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d. bank
melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain;
e. bank
dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f. bank
menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain
g. bank
menjual sebagian atau seluruh harta dan atau kewajiban bank kepada bank atau
pihak lain.
(2) Apabila:
a. tindakan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) belum cukup untuk mengatasi kesulitan yang
dihadapi bank; dan atau
b. menurut
penilaian Bank Indonesia keadaan suatu bank dapat membahayakan sistem
Perbankan, Pimpinan Bank Indonesia dapat mencabut izin usaha bank dan
memerintahkan Direksi bank untuk segera menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang
Saham guna membubarkan badan hukum bank dan membentuk tim likuidasi
(3) Dalam hal Direksi bank
tidak menyelenggarakan Rapat Umum Pemegang Saham sebagaimana dimaksud dalam
ayat (2), Pimpinan Bank Indonesia meminta kepada pengadilan untuk mengeluarkan
penetapan yang berisi pembubaran badan hukum bank, penunjukan tim likuidasi,
dan perintah pelaksanaan likuidasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 37A
(1) Apabila menurut
penilaian Bank Indonesia terjadi kesulitan Perbankan yang membahayakan
perekonomian nasional, atas permintaan Bank Indonesia, Pemerintah setelah
berkonsultasi kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dapat membentuk
badan khusus yang bersifat sementara dalam rangka penyehatan Perbankan.
(2) Badan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) melakukan program penyehatan terhadap bank-bank yang
ditetapkan dan diserahkan oleh Bank Indonesia kepada badan dimaksud.
(3) Dalam melaksanakan
program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) mempunyai wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta
wewenang lain yaitu :
a. mengambil
alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham termasuk hak dan
wewenang Rapat Umum Pemegang Saham;
b. mengambil
alih dan melaksanakan segala hak dan wewenang Direksi dan Komisaris bank;
c. menguasai,
mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan atas kekayaan milik atau yang
menjadi hak bank, termasuk kekayaan bank yang berada pada pihak manapun, baik
di dalam maupun di luar negeri;
d. meninjau
ulang, membatalkan, mengakhiri, dan atau mengubah kontrak yang mengikat bank
dengan pihak ketiga, yang menurut pertimbangan badan khusus merugikan bank ;
e. menjual
atau mengalihkan kekayaan bank, Direksi, Komisaris, dan pemegang saham tertentu
di dalam negeri ataupun di luar negeri, baik secara langsung maupun melalui
penawaran umum; menjual atau mengalihkan tagihan bank dan atau menyerahkan
pengelolaannya kepada pihak lain, tanpa memerlukan persetujuan Nasabah Debitur;
f. mengalihkan
pengelolaan kekayaan dan atau manajemen bank kepada pihak lain;
g. melakukan
penyertaan modal sementara pada bank, secara langsung atau melalui
pengonversian tagihan badan khusus menjadi penyertaan modal pada bank;
h. melakukan
penagihan piutang bank yang sudah pasti dengan penerbitan Surat Paksa;
i. melakukan
pengosongan atas tanah dan atau bangunan milik atau yang menjadi hak bank yang
dikuasai oleh pihak lain, baik sendiri maupun dengan bantuan alat negara
penegak hukum yang berwenang;
j. melakukan
penelitian dan pemeriksaan untuk memperoleh segala keterangan yang diperlukan
dari dan mengenai bank dalam program penyehatan, dan pihak manapun yang
terlibat atau patut diduga terlibat, atau mengetahui kegiatan yang merugikan
bank dalam program penyehatan tersebut;
k. menghitung
dan menetapkan kerugian yang dialami bank dalam program penyehatan dan
membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan, dan bilamana
kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi, Komisaris,
dan atau pemegang saham, maka kerugian tersebut akan dibebankan kepada yang
bersangkutan; m. menetapkan jumlah tambahan modal yang wajib disetor oleh
pemegang saham bank dalam program penyehatan;
l. melakukan
tindakan lain yang diperlukan untuk menunjang pelaksanaan wewenang sebagaimana
dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf m.
(4) Tindakan penyehatan
Perbankan oleh badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) adalah sah
berdasarkan undang-undang ini.
(5) Atas permintaan badan
khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), bank dalam program penyehatan wajib
memberikan segala keterangan dan penjelasan mengenai usahanya termasuk
memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku buku dan berkas yang ada padanya,
dan wajib memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka memperoleh
keterangan, dokumen, dan penjelasan yang diperoleh bank dimaksud. Pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf k wajib memberikan keterangan dan
penjelasan yang diminta oleh badan khusus.
(7) Badan khusus sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) wajib menyampaikan laporan kegiatan kepada Menteri
Keuangan.
(8) Apabila menurut
penilaian Pemerintah, badan khusus telah menyelesaikan tugasnya, Pemerintah
menyatakan berakhirnya badan khusus tersebut.
(9) Ketentuan yang
diperlukan bagi pelaksanaan Pasal ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal 37 B
(1) Setiap bank wajib
menjamin dana masyarakat yang disimpan pada bank yang bersangkutan.
(2) Untuk menjamin simpanan
masyarakat pada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk Lembaga
Penjamin Simpanan.
(3) Lembaga Penjamin
Simpanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berbentuk badan hukum Indonesia.
(4) Ketentuan mengenai
penjaminan dana masyarakat dan Lembaga Penjamin Simpanan, diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah.
B.
Dalam Undang-Undang Lembaga Penjamin Simpanan
Dalam
pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) disebutkan, bahwa tujuan
pembentukan LPS adalah untuk menjamin simpanan dana nasabah pada suatu bank.
Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, LPS dibebani tugas untuk merumuskan dan
menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan serta melaksanakan
penjaminan simpanan. LPS juga mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan
kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan,
melaksanakan penyelesaian bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak
berdampak sistemik.
Disamping fungsi dan tugas yang telah
diamanatkan oleh undang-undang, LPS juga mempunyai beberapa wewenang. pertama,
menetapkan serta memungut premi penjaminan, kontribusi pada saat bank pertama
kali menjadi peserta. Kedua, mengelola kekayaan dan kewajiban LPS. Ketiga,
mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank.
Keempat, melakukan rekonsiliasi, verifikasi serta konfirmasi atas data bank.
Kelima, menetapkan syarat, tata cara srta ketentuan pembayaran klaim pada
nasabah. Keenam, melakukan penyuluhan pada bank dan masyarakat tentang LPS.
Ketujuh, menjatuhkan sanksi administrasi.
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
mempunyai fungsi untuk menjamin simpanan dana milik nasabah serta berperan
aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan nasional sesuai kewenangan
yang diberikan oleh undang-undang. Dalam rangka menjalankan fungsinya, LPS
bertugas merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif
memelihara stabilita sistem perbankan, merumuskan sera menetapkan serta
melaksanakan kebijakan penyelesaian bank gagal baik berdampak sistemik maupun
tidak.
Upaya melaksanakan kebijakan atau
penanganan bank gagal yang tidak berdampak sistemik akan dilakukan dengan
syarat-syarat tertentu. Pertama, upaya penyelamatan bank gagal dapat dilakukan,
apabila biaya penyelamatan bank gagal yang dikeluarkan lebih kecil daripada
biaya apabila tidak dilakukan upaya penyelamatan terhadap bank gagal tersebut.
Kedua, upaya penyelamatan bank gagal tersebut tetap dapat dilaksanakan, apabila
bank gagal yang sudah diselamatkan tersebut ke depan mempunyai prospek yang
baik atau menguntungkan saat menjadi sehat kembali. Ketiga, adanya pernyataan
untuk menyerahkan hak dan wewenang RUPS serta penyerahan kepengurusan bank
kepada LPS. Di samping itu, disayaratkan bahwa di kemudian hari tidak akan
menuntut LPS apabila upaya penyelamatan terhadap bank tersebut mengalami
kagagalan walau sudah dilakukan sesuai prosedur serta peraturan yang ada.
Berkaitan dengan penyerahan hak dan
wewenang RUPS kepada LPS, maka setelah RUPS diserahkan , LPS dapat segera
melakukan:
1.
Penguasaan,
pengelolaan atas aset bank maupun hak serta kewajiban bank
2.
Melakukan
upaya penyertaan modal bank sementara
3.
Menjual
atau mengalihkan aset bank
4.
Mengalihkan
manajemen bank kepada pihak lain
5.
Melakukan
merfer ataupun konsolidasi dengan bank lain
6.
Meninjau
ulang, membatalkan serta mengakhiri dan/atau mengubah kontrak yang mengikat
bank dengan pihak lainnya.
Seluruh
biaya penyelamatan bank yang telah dikeluarkan oleh LPS menjadi penyertaan
modal sementara LPS pada bank tersebut. Di samping itu, LPS mempunyai kewajiban
untuk menjual seluruh saham bank paling lambat 2 tahun sejak penyerahan dan
dapat diperpanjang maksimal dua kali masing-masing 1 tahun. Penjualan saham
dapat dilakukan secara terbuka dan transparan, dengan tetap berpedoman dan
mempertimbangkan pula tingkat pengembalian optimal bagi LPS.
LPS juga dimungkinkan untuk tidak
melakukan upaya penyelamatan terhadap bank gagal yang tidak berdampak sistemik,
apabila LPS merasa bahwa upaya penyelamatan terhadap bank gagal merupakan
tindakan sia-sia yang berakhir pada ketidak pastian. Oleh karena itu, untuk
lebih melindungi kepentingan nasabah penyimpan dana, maka LPS dapat mengajukan
permohonan untuk meminta BI mencabut
izin kegiatan usaha tehadap bank bermasalah tersebut. Jika permohonan LPS tersebut
disetujui oleh BI, maka hal ini berarti ada kesanggupan dari pihak LPS untuk
segera membayar klaim kepada para nasabah yang dananya disimpan pada bank
bermasalah/gagal tersebut.
Upaya penyelesaian dan penanganan bank
gagal secara sistemik dapat dilakukan dengan mengikutsertakan pemegang saham
lama (berikut dengan penyertaan modalnya), atau dapat pula dilakukan dengan
tanpa mengikutsertakan pemegang saham lama dari bank yang mengalami kegagalan.
Untuk penyelamatan bank gagal secara sistemik dengan penyertaan modal bank lama
dapat dilakukan dengan persyaratan tertentu pula. Pertama, pemegang saham dari bank lama telah menyetorkan modalnya
minimal sebesar 25% dari perkiraan biaya yang harus dikeluarkan untuk upaya
penyelamatan tersebut. Kedua, adanya
pernyataan dari Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) untuk menyerahkan hak dan
wewenagnya, menyerahkan kepengurusan bank, serta tidak adanya tuntutan pada
LPS, jika seandainya upaya penyelamatan tersebut tidak berhasil, sepanjang LPS
sudah berusaha semaksimal mungkin untuk melakukan upaya penyelamatan sesuai
dengan peraturan yang ada.
Apabila ternyata biaya dari pemegang
saham bank lama yang dibutuhkan untuk upaya penyelamatan tersebut masih kurang,
maka pihak LPS harus bertanggung jawab atas kekurangan tersebut. Pihak LPS
harus menanbah jumlah kekurangan yang menjadi tanggungjawabnya, sepanjang
pemegang saham serta pengurus bank nantinya menyerahkan hak, kepemilikan seta
kepengurusannya, dan/atau kepentingan lain pada bank lama kepada pihak LPS.
Biaya penyelamatan bank yang sudah
dikeluarkan oleh LPS nantinya akan menjadi modal sementara yang dimiliki oleh
LPS pada bank tersebut. Skim lain
yang dapat dilakukan oleh LPS adalah kewajiban LPS untuk menjual seluruh saham
yang dimiliki oleh bank yang telah diselamatkan paling lambat 3 tahun sejak
penyerahan. Apabila hal ini belum dapat dilaksanakan, maka kewajiban menjual
seluruh saham bank tersebut dapat diperpanjang paling lama 2 (dua) kali
masing-masing 1 tahun.
Upaya penyelamatan bank gagal secara
sistemik yang dilakukan dengan tanpa pernyataan modal dari pemegang saham dapat
dilakukan sejak LPS mendapatkan upaya penyelamatan. Adapun prosedur yang dapat
dilakukan oleh LPS adalah:
a.
Pihak
LPS akan mengambil alih hak dan kewenangan yang dimiliki oleh RUPS, baik itu
berupa kepemilikan, kepengurusan, dan/atau kepentingan lain dari bank tersebut;
b.
Pemegang
saham dan pengurus tidak dapat menuntut LPS, jika upaya penyelamatan tidak
berhasil, sepanjang LPS sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan
bank tersebut sesuai peraturan yang berlaku;
c.
Apabila
LPS sudah berhasil mengambil alih hak dan kewenangan RUPS (berupa kepemilikan,
kepengurusan dan/ atau kepentingan lain dari bank tersebut), maka LPS dapat
menguasai , mengelola dan melakukan tindakan kepemilikan aset bank, mengalihkan
manajemen bank kepada pihak lain, meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri
dan/atau dapat pula mengubah kontrak dengan yang mengikat bank dengan pihak
lain.
Biaya penyelamatan yang dikeluarkan
oleh LPS dan kewajiban LPS untuk menjual seluruh saham bank tanpa penyertaan
modal, ketentuannya sama dengan yang ada pada penyelamatan bank gagal secara
sistemik yang diikuti dalam penyertaan modal dari pemegang saham tersebut. Di
samping itu, LPS diwajibkan untuk menjual semua saham bank dan diberi
tempo/jangka waktu paling lambat 3 (tiga) tahun sejak penyerahan. Ketentuan
mengenai jangka waktu untuk menjual saham bank tersebut masih dapat
diperpanjang lagi hingga paling banyak 2 (dua) kali masing-masing selama (satu)
tahun.
Penggunaan terhadap hasil penjualan
saham bank yang sudah berhasil diselamatkan dilakukan dengan beberapan cara
yaitu:
a.
Pada
penyelamatan bank gagal sistemik dan tidak sistemik dengan penyertaan modal,
dapat dilakukan, yaitu:
1) Jika ekuitas bank beberapa posisi yang
baik/positif ketika dilakukan penyerahan pada LPS atau setelah pemegang saham
melakukan penyertaan modal, maka harus dibuatkan terlebih dahulu perjanjian
antara LPS dengan pemegang saham bank tersebut.
2) Jika ekuitas bank negatif pada saat
penyerahan bank kepada LPS atau setelah pemegang saham lama melakukan
penyertaan modal, maka pemegang saham yang lama tidak memiliki lagi hak atas
penjualan saham bank.
b.
Kemudian
pada penyelamatan bank gagal secara sistemik tanpa penyertaan modal, maka perlu
diperhatikan adalah:
1) Jika ekuitas bank berada pada posisi
positif pada saat penyerahan kepada LPS, maka penggunaan hasil penjualan saham
berlaku ketentuan berdasarkan pada upaya penyelamatan bank secara tidak
sistematik; dan
2) Jika ekuitas bank pada posisi negatif
pada saat penyerahan kepada LPS, makapemegang saham tidak memiliki hak atas
penjualan saham bank tersebut.
Kemudian untuk pembayaran klaim
penjaminan kepada nasabah memamng harus di dahului dengan tahapan pencabutan
izin usaha bank yang bermasalah
tersebut. Dalam tahapan ini pihak LPS akan mengumpulkan semua dta simpanan
milik nasabah di bank tersebut sejak tanggal pencabutan izin usaha bank
dikeluarkan/ diterbitkan. Setelah itu, tahapan berikutnya adalah perlunya
dilakukan rekonsiliasi dan verifikasi terhadap data simpanan nasabah dalam
waktu paling lama 90 (sembilan puluh ) hari.
Selanjutnya setelah tahap pencabutan
izin bank dan rekonsiliasi serta verifikasi di lakukan, maka tahap berikutnya
adalah pembayaran klaim penjaminan kepada nasabah yang dilakukan oleh LPS.
Dalam tahap ini LPS akan membayarkan kembali simpanan dana milik nasabah dalam
mata uang rupiah. Proses serta tata cara pengajuan dan pembayaran klaim
diumumkan pad 2 (dua ) surat kabar, dan klaim layak di bayar paling lambat 5 (
lima ) ahri kerja sejak veifikasi dimulai. Kemudian jangka weaktu pengajuan
klaim adalah 5 ( lima ) tahun sejak izin usaha bank dicabut. Untuk jangka waktu
pengajuan klaim ini masih dirasa terlalu lama, mestinya jangka waktunya
dibatasi, dan tidak perlu harus sampai lima tahun.
Daftar Pustaka
Gazali, Djoni S. & Rachmadi
Usman.2010. Hukum Perbankan. Sinar
Grafika:Jakarta.
Hermansyah. 2010. Hukum
Perbankan Nasional Indonesia. Kencana: Jakarta.
Usman, Rachmadi. 2001. Aspek-aspek
Hukum Perbankan di Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.
http://www.tempo.co.id/ang/min/02/36/utama3.htm,
diakses pada tanggal 15 Februari 2013
http://www.bankirnews.com/ diakses pada tanggal
15 Februari 2013
http://marragam-ragam.blogspot.com/2010/12/merger-konsolidasi-dan-akuisisi.html diakses tanggal 17
Februari 2013
http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/19/hukum-perbankan-asas-dan-prinsip-perbankan/ diakses tanggal 17
Februari 2013
Pasal 37A Undang-undang
Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perbankan.
Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2004 Tentang Lembaga Penjamin Simpanan
[1]
http://www.tempo.co.id/ang/min/02/36/utama3.htm, diakses
pada tanggal 15 Februari 2013
[2] Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.2001. Hal 143
[3]
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama.2001. Hal 143
[4] Pasal 37A Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
tentang Perbankan.
[5]
http://www.bankirnews.com/ diakses
pada tanggal 15 Februari 2013
[6]
Hermansyah. Hukum Perbankan Nasional Indonesia. Jakarta: Kencana. 2010. Hal
146.
[7]
http://kuliahade.wordpress.com/2010/04/19/hukum-perbankan-asas-dan-prinsip-perbankan/
diakses tanggal 17 Februari 2013
[8]
http://marragam-ragam.blogspot.com/2010/12/merger-konsolidasi-dan-akuisisi.html
Diakses tanggal 17 Februari 2013
Maaf Bank Sahabat Sampoerna Sehat gk admin..?? saya mnabung di 'Bank Sahabat Sampoerna',,trus saldo saya hilang 4 jutaan.ATM sllu didompet saya n pin saya Sendiri yg Tau..Ternyta ada penarikan di Bali,tnpa spngtahuan saya n krtu atm sllu sma saya..
ReplyDeletePihak Bank mnta saya mlihat vedeo penarikan itu,tapi saya harus bayar 200 ribu..??? Saya sngt kecewa,Masa saya harus bayar 200 rb,malah saya merasa makin dirugikan.uang udh hilang 4 jt n hrus bayar 200rb tp jminan uang balik 4jt gk ada..
Saya trs mnntut ,keesokannya Bank minta saya buat surat pernytaan Keberatan,n saya diajak brtemu sma atasan Bank..kata Atasan Bank itu,akn panggil saya klw masalah udah selesai...tapi udah lebih 20 hari saya blm dipanggil2.. 😂
Saya hmpir stres dgn uang 4jt itu,maklumlah saya hnya pedagang kecil jdi uang 4 jt itu sangatlah berarti,itu pun udah setahun saya mngmpulkannya tp hilang cuma2....Sudah lbih 40 hri blm ada ttik terang dr Bank Sahabat Sampoerna..
Sprti judul diatas Apakah Bank ini sehat.??