Friday, November 8, 2013

Bank Bermasalah dan Penanganannya



1.   Prinsip Kehati-hatian dan Tingkat Kesehatan Bank
Penyehatan bank berawal dari peluang Paket Oktober (pakto) 1988 yang tidak diimbangi dengan Sumber Daya Manusia yang memadai, sehingga timbul keterpurukan kondisi perbankan, yang disebabkan:
-       Merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan;
-       Tingginya tingkat suku bunga simpanan untuk menarik dana masyarakat yang kehilangan kepercayaan;
-       Tingginya bunga berimbas kepada  ketidakmampuan debitur penerima kredit;
-       Perbankan nasional memiliki pinjaman internasional yang tinggi; dan
-       Bank tidak dapat menjalankan fungsi intermediasi.
Setelah adanya kegagalan Pakto, muncullah Paket februari (Paktri) 1991 yang mengatur syarat bahwa modal sendiri suatu bank harus sebesar 8 % dari seluruh aset. Ketentuan yang lazim disebut CAR (capital adequacy ratio  atau perbandingan antara modal sendiri dengan aset) sebesar 8 % mengharuskan bank-bank memperkuat modalnya sendiri. Ketika itu disebut-sebut bahwa banyak bank yang CAR-nya hanya sekitar 5 % saja. Kemudian Paktri tersebut dinilai kelewat "menekan" dunia perbankan. Untuk mengimbanginya, dikeluarkanlah Paket Mei (Pakmei) 1993 yang intinya melonggarkan aturan soal CAR (capital adequacy ratio) sebesar 8%. Antara lain, bank boleh memasukkan seluruh laba tahun sebelumnya dalam komponen modal sendiri. Aturan sebelumnya, hanya 8% saja dari laba tahun lalu yang boleh dimasukkan dalam komponen modal sendiri. Kemudian muncullah Pengumuman Pemerintah 1 november 1997, pengumuman tersebut merupakan puncak tragedi di sektor perbankan. Likuidasi serempak terhadap 16 bank telah menjawab rumor yang sejak lama beredar di Jakarta. Sejumlah bank lain akan melakukan merger.[1]
Terdapat empat kewenangan yang dimiliki Bank Indonesia sebagai bank sentral yang berwenang dari semua bank yang ada di indonesia yaitu : terdapat kewenangan Power To License adalah kewenangan memberikan ijin ; kewenangan Power To Regulated adalah kewenangan untuk mengatur ; kewenangan Power To Control adalah kewenangan untuk mengendalikan atau mengawasi. Kewenangan ini terdapat didalam pasal 34 UU 3/2004 ; kewenangan terakhir adalah kewenangan Power To Impose Sanction adalah kewenangan untuk mengenakan sanksi.
Pengertian kesehatan bank adalah  Kemampuan suatu bank untuk melakukan kegiatan operasional perbankan secara normal & mampu memenuhi semua kewajibannya dengan baik dan sesuai dengan peraturan perbankan yang berlaku. Banyak kegiatan operasional yang dilakukan oleh bank untuk memenuhi tingkat kesehatan bank yaitu : Kemampuan menghimpun dana, Kemampuan mengelola dana, Kemampuan untuk menyalurkan dana ke masyarakat, Kemampuan memenuhi kewajiban kepada pihak lain, Pemenuhan peraturan yang berlaku.
Ukuran tingkat kesehatan bank di Indonesia adalah mengukur dengan sistem Camel (Capital,Asset,Management, Earning, Likuidity) plus. Pengertian adari sistem Camel tersebut adalah sistem yang menilai keadaan keuangan bank juga menilai keadaan atau unsur-unsur yang tidak termasuk dalam keadaan keuangan bank faktor plus yaitu kepatuhan terhadap peraturan-peraturan khususnya peraturan di bidang perbankan.
Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank mengalami suatu kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya, misalnya saja kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lain sebagainya, hal tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat. Bank yang bermasalah dapat digolongkan menjadi 2 yaitu :
1.   Bank yang bermasalah secara struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi yang sangat parah dan setiap saat dapat terancam keberlangsungannya. Karakteristik bank yang masuk ke dalam kategori ini antara lain kualitas aktiva produktif tidak sehat, mengalami rugi cukup besar serta likuidasi yang buruk. Keadaan yang seperti ini biasanya disebabkan pemilik banyak ikut campur tangan dalam pengelolaan manajemen yang dapat dilihat dari besarnya kredit yang diberikan kepada grup atau kelompok pemilik.
2.   Bank yang bermasalah secara non-struktural, yang masuk ke dalam kategori ini biasanya dengan karakteristik pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam pengelolaan manajemen dan menyadari kesalahannya. Dan walaupun bank dalam kondisi rentabilitas cenderung memburuk, namum modal bank masih mencukupi penyediaan modal minimum. Kategori bank seperti ini memiliki tingkat kesehatan yang kurang atau tidak sehat.[2]
Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Perbankan yang diubah menetapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan terhadap bank bermasalah agar tidak terjadi pencabutan izin usaha dan / atau tindakan liquidas. Hal ini dilakukan dalam rangka mempertahankan atau menyelamatkan bank sebagai lembaga kepercayaan masyarakat.
Apabila terdapat penyimpangan terhadap aturan tentang kesehatan bank, Bank Indonesia dapat mengambil tindakan-tindakan tertentu dengan tujuan dasar agar bank bersangkutan. Adapun tindakan-tindakan yang dapat dilakukan oleh bank Indonesia untuk mengatasi masalah atau kesulitan yang dihadapi suatu bank yaitu :
a)  Pemegang saham menambah modal ;
b)  Pemegang saham mengganti dewan komisaris dan/atau direksi bank ;
c)  Bank menghapusbukukan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang macet , dan memperhitungkan kerugian bank dengan modalnya;
d)  Bank melakukan merger atau konsolidasi dengan bank lain ;
e)  Bank dijual kepada pembeli yang bersedia mengambil alih seluruh kewajiban;
f)   Bank menyerahkan pengelolaan seluruh atau sebagian kegiatan bank kepada pihak lain ;
g)  Bank menjual sebagian/seluruh harta dan/atau kewajiban bank kepada bank/pihak lain. [3]

Teori Pemidanaan





Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat disebut hukum sanksi istimewa.
Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat membantunya. Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.        Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
2.        Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
3.        Teori gabungan (vernegings theorien)
Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai berikut:

1.        Teori Absolut
Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatihan masa depan, baik terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
1.         Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)
2.         Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
Ada beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu sebagai berikut.
1.         Pertimbangan dari sudut Ketuhanan
Adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai wakil Tuhan di dunia. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana bagi pelanggarnya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam undang-undang duniawi harus dihormati dan barang siapa yang melanggar harus dipidana oleh negara selaku wakil Tuhan dengan sekeras-kerasnya. Pandangan ini dianut oleh Thomas van Aquino, Stahl, dan Rambonet.
2.         Pandangan dari sudut etika
Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Menurut rasio, tiap kejahatan itu haruslah diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintahan negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang dituntut oleh etika tersebut. Penjatuhan pidana ini harus dilakukan meskipun tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Teori ini dikenal dengan de ethische vergeldings theorie.
3.         Pandangan alam pikiran dialektika
Pandangan ini berasal dari Hegel. Menurutnya, pidana harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan. Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum. Oleh karena itu, harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum. Teori ini disebut dengan de dialektische vergeldings theorie.
4.         Pandangan Aesthetica
Menurut Herbart, pandangan ini berpangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas, maka akan menimbulkan rasa tidak puas pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai, maka harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama berat atau besar dengan penderitaan korban atau masyarakat.
5.         Pandangan dari Heymans
Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan ada niat pelaku. Ia menyatakan bahwa setiap niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasaan, tetapi niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak perlu diberi kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini berupa penderitaan yang adil. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh dicapai orang. Pandangan ini tidak bersifat membalas apa yang telah terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat pencegahan (preventif).
6.         Pandangan dari Kranenburg
Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia mengemukakan mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sederajat. Tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa akan juga mendapatkan keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih dahulu diadakannya. Berdasarkan hal itu, bila seseorang berbuat kejahatan yang berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudahlah seimbang bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama dengan penderitaan yang dilakukannya terhadap orang lain.

Wednesday, January 2, 2013

Politik Hukum Pengaturan Pemerintahan Daerah



1.    Desentralisatie Wet 1903
Pada jaman Hindia Belanda mula-mula tidak pernah ada otonomi daerah dan selfgoverment di daerah. Pelaksanaan pemerintahan adalah terpusat atau menggunakan sistem sentralisasi dengan seketat-ketatanya dalam rangka program kolonialistik. Di daerah-daerah tidak ada lembaga perwakilan, semua pejabat daerah merupakan pegawai Pemerintah Pusat yang tidak mempunyai kewenangan inisiatif untuk mengatur dan mengurus daerahnya. Semua pejabat daerah menunggu dan melaksanakan instruksi dari Pemerintah Hindia Belanda. Jadi semua instansi di segala bidang dan tingkatan ke bawah sampai ke pelosok-pelosok merupakan aparat vertikal secara mutlak di bawah perintah dan pengawasan para pegawai-pegawai tinggi pusat.
Akibatnya, pengambilan keputusan sangat lambat karena banyaknya masalah yang harus diputuskan oleh pusat. Selain itu, karena faktor jarak yang terlalu jauh, sehingga sering keputusan yang diambil tidak sesuai keinginan dan tidak tepat waktu karena pejabat pejabat pusat tidak cukup memahami permasalahan secara keseluruhan.
Di dalam dorongan yang seperti itu terbawa juga pikiran tentang desentralisasi sebab tugas-tugas pemerintah yang semakin meluas tidak mungkin ditangani secara sentralistis. Kesemua ini mendorong pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan dalam tahun 1903 suatu Wethondende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (S.1903/329) atau Undang-Undang tentang Desentralisasi tahun 1903. Undang-Undang tentang Desentralisasi tahun 1903 memuat prinsip-prinsip tentang adanya kemungkinan penerapan desentralisasi dan dekonsentrasi di Hindia Belanda yang pelaksanaanya diserahkan kepada badan pembentuk peraturan perundang-undangan rendahan yakni Raja dengan AmvB dan Gubernur Jendral bersama Raad van Indie dengan ordonantie.
Pada tahun 1922 tuntutan perluasan desentralisasi itu semakin mendapat angin ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pembaharuan Pemerintahan yang memungkinkan penyelenggaraan desentralisasi dan dekonsentrasi secara lebih luas yakni Wet op de Bestuurhervorming (S. 1922/ 24 216) atau UU Desentralisasi 1922. Undang-Undang ini menitikberatkan pada upaya pembentukan instansi pemerintahan baru yang dapat memberikan pengalaman politik kepada penduduk asli melalui pemberian hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembebanan secara bertanggung jawab.
2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional yang mengusung program “Menyusun pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang demokratis” ini, negara Indonesia dibagi menjadi 8 propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Propinsi dibagi lagi dalam beberapa karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Undang-undang ini mengatur mengenai Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang berlaku untuk semua daerah kecuali daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari dibentuk badan eksekutif yang dipilih kepala daerah. Dengan demikian, kepala daerah berfungsi sebagai ketua BPRD juga sebagai ketua badan eksekutif daerah.  Di samping mengusung program pemerintahan demokratis, undang-undang ini juga dimaksudkan sebagai penegasan adanya perbedaan sistem ketatanegaraan zaman kolonial dan zaman kemerdekaan. Namun undang-undang tersebut dipandang kurang memuaskan karena isinya sangat sederhana. Di dalamnya belum ada kejelasan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di samping tidak kejelasan tentang desentralisasi.