Wednesday, January 2, 2013

Politik Hukum Pengaturan Pemerintahan Daerah



1.    Desentralisatie Wet 1903
Pada jaman Hindia Belanda mula-mula tidak pernah ada otonomi daerah dan selfgoverment di daerah. Pelaksanaan pemerintahan adalah terpusat atau menggunakan sistem sentralisasi dengan seketat-ketatanya dalam rangka program kolonialistik. Di daerah-daerah tidak ada lembaga perwakilan, semua pejabat daerah merupakan pegawai Pemerintah Pusat yang tidak mempunyai kewenangan inisiatif untuk mengatur dan mengurus daerahnya. Semua pejabat daerah menunggu dan melaksanakan instruksi dari Pemerintah Hindia Belanda. Jadi semua instansi di segala bidang dan tingkatan ke bawah sampai ke pelosok-pelosok merupakan aparat vertikal secara mutlak di bawah perintah dan pengawasan para pegawai-pegawai tinggi pusat.
Akibatnya, pengambilan keputusan sangat lambat karena banyaknya masalah yang harus diputuskan oleh pusat. Selain itu, karena faktor jarak yang terlalu jauh, sehingga sering keputusan yang diambil tidak sesuai keinginan dan tidak tepat waktu karena pejabat pejabat pusat tidak cukup memahami permasalahan secara keseluruhan.
Di dalam dorongan yang seperti itu terbawa juga pikiran tentang desentralisasi sebab tugas-tugas pemerintah yang semakin meluas tidak mungkin ditangani secara sentralistis. Kesemua ini mendorong pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan dalam tahun 1903 suatu Wethondende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch-Indie (S.1903/329) atau Undang-Undang tentang Desentralisasi tahun 1903. Undang-Undang tentang Desentralisasi tahun 1903 memuat prinsip-prinsip tentang adanya kemungkinan penerapan desentralisasi dan dekonsentrasi di Hindia Belanda yang pelaksanaanya diserahkan kepada badan pembentuk peraturan perundang-undangan rendahan yakni Raja dengan AmvB dan Gubernur Jendral bersama Raad van Indie dengan ordonantie.
Pada tahun 1922 tuntutan perluasan desentralisasi itu semakin mendapat angin ketika pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pembaharuan Pemerintahan yang memungkinkan penyelenggaraan desentralisasi dan dekonsentrasi secara lebih luas yakni Wet op de Bestuurhervorming (S. 1922/ 24 216) atau UU Desentralisasi 1922. Undang-Undang ini menitikberatkan pada upaya pembentukan instansi pemerintahan baru yang dapat memberikan pengalaman politik kepada penduduk asli melalui pemberian hak untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembebanan secara bertanggung jawab.
2.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 Tentang Kedudukan Komite Nasional yang mengusung program “Menyusun pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah yang demokratis” ini, negara Indonesia dibagi menjadi 8 propinsi yang masing-masing dikepalai oleh seorang gubernur. Propinsi dibagi lagi dalam beberapa karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen. Undang-undang ini mengatur mengenai Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah (BPRD), yang berlaku untuk semua daerah kecuali daerah Kesultanan Yogyakarta dan Kesultanan Surakarta. Dalam pelaksanaan tugas pemerintahan sehari-hari dibentuk badan eksekutif yang dipilih kepala daerah. Dengan demikian, kepala daerah berfungsi sebagai ketua BPRD juga sebagai ketua badan eksekutif daerah.  Di samping mengusung program pemerintahan demokratis, undang-undang ini juga dimaksudkan sebagai penegasan adanya perbedaan sistem ketatanegaraan zaman kolonial dan zaman kemerdekaan. Namun undang-undang tersebut dipandang kurang memuaskan karena isinya sangat sederhana. Di dalamnya belum ada kejelasan mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, di samping tidak kejelasan tentang desentralisasi.