Teori-teori
pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yakni
menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan
pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum
pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat
diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru
dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana
penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya
dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja
membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat disebut hukum
sanksi istimewa.
Pidana
yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan
akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya
dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar
sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan organisasi sosial
tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib
masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara
melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan
menjalankan pidana.
Mengenai
kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim
yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan
terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai
dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun
masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat
membantunya. Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan
pidana, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori
pemidanaan yang dianut.
Ada
berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara umum dapat
dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.
Teori absolut atau teori pembalasan
(vergeldings theorien)
2.
Teori relatif atau teori tujuan (doel
theorien)
3.
Teori gabungan (vernegings theorien)
Untuk lebih jelasnya,
diuraikan sebagai berikut:
1.
Teori
Absolut
Dasar
pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan
penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana
karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan
kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang
setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap
kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak
dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak
memerhatihan masa depan, baik terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan
pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud
satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan
pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
1.
Ditujukan pada penjahatnya (sudut
subjektif dari pembalasan)
2.
Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari
perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
Ada
beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang adanya keharusan untuk
diadakannya pembalasan itu, yaitu sebagai berikut.
1.
Pertimbangan dari sudut Ketuhanan
Adanya
pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber
pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai wakil
Tuhan di dunia. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum
dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan
pidana bagi pelanggarnya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam
undang-undang duniawi harus dihormati dan barang siapa yang melanggar harus
dipidana oleh negara selaku wakil Tuhan dengan sekeras-kerasnya. Pandangan ini
dianut oleh Thomas van Aquino, Stahl, dan Rambonet.
2.
Pandangan dari sudut etika
Pandangan
ini berasal dari Immanuel Kant. Menurut rasio, tiap kejahatan itu haruslah
diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang
dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintahan negara
mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang
dituntut oleh etika tersebut. Penjatuhan pidana ini harus dilakukan meskipun
tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Teori ini dikenal
dengan de ethische vergeldings theorie.
3.
Pandangan alam pikiran dialektika
Pandangan
ini berasal dari Hegel. Menurutnya, pidana harus ada sebagai reaksi dari setiap
kejahatan. Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan. Jika seseorang
melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari
kenyataan adanya hukum. Oleh karena itu, harus diikuti oleh suatu pidana berupa
ketidakadilan terhadap pelakunya untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan
atau kembali tegaknya hukum. Teori ini disebut dengan de dialektische vergeldings theorie.
4.
Pandangan Aesthetica
Menurut
Herbart, pandangan ini berpangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak
dibalas, maka akan menimbulkan rasa tidak puas pada masyarakat. Agar kepuasan
masyarakat dapat dicapai, maka harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang
setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya pidana harus dirasakan
sebagai penderitaan yang sama berat atau besar dengan penderitaan korban atau
masyarakat.
5.
Pandangan dari Heymans
Pandangan
dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan ada niat
pelaku. Ia menyatakan bahwa setiap niat yang tidak bertentangan dengan
kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasaan, tetapi niat yang bertentangan
dengan kesusilaan tidak perlu diberi kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini berupa
penderitaan yang adil. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak
boleh dicapai orang. Pandangan ini tidak bersifat membalas apa yang telah
terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat pencegahan (preventif).
6.
Pandangan dari Kranenburg
Teori
ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia mengemukakan mengenai
pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian, maka
terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang
sederajat. Tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa akan juga
mendapatkan keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih
dahulu diadakannya. Berdasarkan hal itu, bila seseorang berbuat kejahatan yang
berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudahlah
seimbang bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama
dengan penderitaan yang dilakukannya terhadap orang lain.
2.
Teori
Relatif
Teori
ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib
(hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan
untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
Untuk
mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga
macam sifat, yaitu:
1. Bersifat
menakut-nakuti (afschrikking)
2. Bersifat
memperbaiki (verbetering/reclasering)
3. Bersifat
membinasakan (onschadelijk maken)
Sementara
itu sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu:
1. Teori
pencegahan umum
Di
antara teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti
merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum
ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum)
menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana ini
dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan
perbuatan yang serupa dengan penjahat itu.
Penganut
teori ini misalnya seneca (romawi), berpandangan bahwa supaya khalak ramai menjadi
takut untuk melakukan kejahatan maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan
eksekusinya yang kejam dilakukan di muka umum. Penjahat yang dipidana ini
dijadikan tontonan orang banyak agar semua orang takut untuk berbuat serupa.
Dalam
perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi kejam ini banyak
ditentang. Menurut Beccaria, hukum pidana harus diatur dalam suatu kodifikasi
dan sistematis agar semua orang bisa tahu perbuatan apa yang diancam pidana. Ia
juga meminta pidana mati dan penyiksaan yang kejam diganti dengan pidana yang
memerhatikan perikemanusiaan, pidana yang dijatuhkan ini jangan sampai melebihi
penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat itu.
Von
Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan
psychologische zwang, menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu
bukan ada penjatuhan pidana inkonkrito, tetapi pada ancaman yang ditulis dalam
UU. Ancaman ini harus diketahui khalayak umum dan membuat setiap orang takut
melakukan kejahatan. Karena ancaman pidana ini dapat menimbulkan tekanan
kejiwaan bagi setiap orang.
Namun
teori yang paling maju pada masa itu ini memiliki beberapa kelamahan, antara
lain:
a. Penjahat
yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan menjalani pidana,
perasaan takut terhadap ancaman pidana itu menjadi tipis bahkan hilang.
b. Ancaman
pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat tidak sesuai dengan kejahatan
yang dilakukan.
c. Orang-orang
atau penjahat yang picik (bodoh) atau
juga yang tidak mengetahui perihal ancaman pidana itu, sifat menakut-nakutinya
menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.
Karena
kelemahan itulah muncul teori pencegahan umum yang menitikberatkan sifat
menakut-nakuti itu tidak pada ancaman pidana dalam UU maupun pada eksekusi yang
kejam, melainkan pada penjatuhan pidana secara konkret oleh hakim pada
penjahat. Menurut Muller, dengan tujuan memberi rasa takut pada penjahat
tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi ancaman
pidananya agar para penjahat serupa lainnya menjadi terkejut dan menyadari perbuatannya dapat dijatuhi pidana berat dan
takut melakukan perbuatan serupa.
2. Teori
pencegahan khusus
Menurut
teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana
agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang yang berniat buruk untuk
tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat
dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:
a. Menakut-nakutinya
b. Memperbaikinya
c. Membuatnya
menjadi tidak berdaya
Maksud
menakut-nakuti adalah pidana harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang
tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang
dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa
takut untuk mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Pidana yang dijatuhkan
terhadap orang-orang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara
itu, orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki, pidana yang
dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau
bersifat membinasakan.
Van
Hamel berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan
tujuan dan alasan penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul dengan
sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya pidana.
3.
Teori
Gabungan
Teori
ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib
masyarakat. Dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan
pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a.
Teori gabungan yang mengutamakan
pembalasan
Teori
ini didukung oleh Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah
pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata
tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari
kejahatan. Pidana yang besifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila
bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) masyarakat.
Zevenbergen
berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi
mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah
mengembalikan dan mempertahankan ketaatan ada hukum dan pemerintahan. Pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada
jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum itu.
b.
Teori gabungan yang mengutamakan
perlindungan tata tertib masyarakat
Menurut
simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar sekundernya adalah
pencegahan khusus. Pidana terutama ditujukan pada pencegahan umum yang terletak
pada ancaman pidananya dalam UU. Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak
efektif dalam hal pencegahan umum itu, maka barulah diadakan pencegahan khusus
yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat tidak
berdayanya penjahat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pidana yang dijatuhkan
harus sesuai dengan hukum dari masyarakat.
Menurut
Thomas Aquino, dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana,
harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat
pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan
pada orang yang melakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan. Sifat
membalas pidana adalah sifat umum pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab
tujuan pidana pada hakikatnya adalah perlindungan tata tertib masyarakat.
JENIS-JENIS PIDANA
Pidana merupakan penderitaan yang
sengaja dibebankan negara kepada seseorang yang hendak melanggar larangan.
Pidana itu sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan dan harus berdasarkan pada
vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang
dilakukan. Adapun mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan utamanya mengacu pada
KUHP. Namun untuk hukum pidana khusus, ternyata ada perluasan atau penambahan
bentuk atau jenis pidana di luar termaktub dalam KUHP.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10.
Jenis-jenis pidana tersebut yaitu:
a.
Pidana Pokok
1.Pidana mati
2.Pidana penjara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda b. Pidana
Tambahan
1.Pencabutan hak-hak tertentu
2.Perampasan barang-barang tertentu
3.Pengumuman putusan hakim.
1. Pidana Mati
Penerapan pidana mati dalam praktik
sering menimbulkan perdebatan antara yang setuju dan yang tidak. Bagaimanapun
pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal
pidana mati memang dibenarkan.
Pidana ini adalah yang terberat dari
semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat. Ada
beberapa pasal dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, antara lain:
a.
Makar membunuh kepala negara (pasal 104)
b.
Pembunuhan berencana (pasal 340)
c.
Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (pasal
111 ayat 2)
d.
Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam
perang (pasal 124 ayat 3)
e.
Membunuh kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1)
f.
Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2)
g.
Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih
berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang
menjadikan ada orang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4)
Di luar KUHP, pidana mati sering
dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi (Undang-undang Nomor
11/PnPs/1963) dan pelaku tindak pidana narkotika (Undang-undang Nomor 9 Tahun
1976).
Dasar
pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu menurut Penetapan Presiden (PENPRES)
tanggal 27 April 1964 LN Tahun 1964 bahwan pelaksanaan pidana mati di Indonesia
dilakukan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati.
2.
Pidana
Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan
atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman
penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai
kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran
atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian.(Leden marpaung, 2008:108).
Hukuman penjara minimum satu hari
dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:
(1) Pidana penjara adalah seumur
hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana
penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama
lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana
penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun
berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati,
pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana
penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun
dapat dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena
yang telah ditentukan dalam pasal 52 KUHP.
(4) Pidana
penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh
tahun.
3. Pidana
Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari
pidana penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang
diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum
sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini
ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :
(1). Lamanya
pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun.
(2). Hukuman
tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan jika ada
pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan,
atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.
Dalam beberapa hal, pidana kurungan
adalah sama dengan pidana penjara, yaitu:
(1) Sama, berupa
pidana hilang kemerdekaan bergerak.
(2) Mengenal
maksimum umum, maksimum khusus, dan minimum umum, tapi tidak mengenal minimum
khusus, maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang karna alasan-alasan tertentu
dapat diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang
dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum umum pidana penjara maupun
kurungan sama 1 hari. Sedangkan maksimum khusus disebutkan pada setiap rumusan
tindak pidana tertentu sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi semua tindak
pidana, bergantung dari pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang
bersangkutan.
(3) Orang yang
dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untu menjalankan (bekerja)
pekerjaan tertentu, walaupun untuk narapidana kurungan lebih ringan dibanding
narapidana penjara.
(4) Tempat
menjalani pidana penjara adalah sama dengan tempat menjalani pidana kurungan,
walaupun ada sedikit perbedaan yaitu harus dipisah (pasal 28).
(5) Pidana
kurungan dan pidana penjara mulai berlaku, apabila terpidana tidak ditahan,
yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan tetap) dijalankan/ dieksekusi,
yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan
paksa memasukkan terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan.
Adapun perbedaan perbedaan pidana
penjara dan pidana kurungan menurut, adalah :
(1) Pidana
kurungan dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan culpa, pidana penjara
dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan dolus dan culpa.
(2) Pidana
kurungan ada dua macam yaitu kurungan principal dan subsidair
(pengganti denda), pada pidana penjara tidak mengenal hal ini.
(3) Pidana bersyarat tidak terdapat
dalam pidana kurungan.
(4) Perbedaan
berat ringan pemidanaan.
(5) Perbedaan
berat ringannya pekerjaan yang dilakukan terpidana.
(6) Orang yang
dipidana kurungan mempunyai hak pistole, hak memperbaiki keadaannya
dalam lembaga pemasyarakatan atas biaya sendiri yang pada pidana penjara ini
tidak ada.
4. Pidana Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada
pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai
alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda
ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan. Mengenai
hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi:
(1) Jumlah
hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
(2) Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu
tidak dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan.
(3)
Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda
sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
(4)
Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu
rupa, bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat
harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari
satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
(5)
Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya
delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada
gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52
dan 52a.
(6)
Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari
delapan bulan.
Pidana denda tersebut dapat dibayar
siapa saja. Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.
Daftar Referensi
1. Ruba’i, Masruchin.
1994. Mengenal Pidana dan Pemidanaan di Indonesia. Malang: IKIP
Malang
2. Waluyo, Bambang.
2004. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta:
Sinar Grafika
No comments:
Post a Comment