Friday, November 8, 2013

Teori Pemidanaan





Teori-teori pemidanaan berhubungan langsung dengan pengertian hukum pidana subjektif. Yakni menerangkan tentang dasar dari hak negara dalam menjatuhkan dan menjalankan pidana kepada orang yang melanggar larangan dalam hukum pidana atau hukum pidana objektif. Dalam pelaksanaan hukum pidana subjektif itu berakibat diserangnya hak dan kepentingan hukum pribadi manusia tadi yang justru dilindungi oleh hukum pidana itu sendiri. Misalnya penjahat dijatuhi pidana penjara atau kurungan dan dijalankan, maka hak atau kemerdekaan bergeraknya dirampas. Atau dijatuhi pidana mati kemudian dijalankan, artinya dengan sengaja membunuhnya. Oleh karena itulah hukum pidana objektif dapat disebut hukum sanksi istimewa.
Pidana yang diancamkan seperti yang tertera dalam pasal 10 KUHP itu apabila diterapkan akan menyerang kepentingan hukum dan hak pribadi manusia yang sebenarnya dilindungi oleh hukum. Hak menjalankan hukum pidana subjektif ini sangat besar sehingga hanya boleh dimiliki oleh negara. Negara merupakan organisasi sosial tertinggi yang berkewajiban menyelenggarakan dan mempertahankan tata tertib masyarakat. Dalam rangka melaksanakan kewajiban itu, maka wajar bila negara melalui alat-alatnya diberi hak dan kewenangan untuk menjatuhkan dan menjalankan pidana.
Mengenai kepentingan pidana ini perlu dijatuhkan, terdapat berbagai pendapat. Bagi hakim yang bijak, ketika ia akan menarik atau menetapkan amar putusan, ia akan terlebih dahulu mempertimbangkan benar tentang manfaat apa yang akan dicapai dari penjatuhan pidana (jenis dan berat ringannya), baik bagi terdakwa, maupun masyarakat dan negara. Dalam keadaan demikian, teori hukum pidana dapat membantunya. Ketika jaksa hendak membuat tuntutan dan hakim hendak menjatuhkan pidana, seringkali bergantung pada pendirian mereka mengenai teori-teori pemidanaan yang dianut.
Ada berbagai macam pendapat mengenai teori pemidanaan ini, namun secara umum dapat dikelompokkan ke dalam tiga golongan, yaitu:
1.        Teori absolut atau teori pembalasan (vergeldings theorien)
2.        Teori relatif atau teori tujuan (doel theorien)
3.        Teori gabungan (vernegings theorien)
Untuk lebih jelasnya, diuraikan sebagai berikut:

1.        Teori Absolut
Dasar pijakan teori ini adalah pembalasan. Inilah dasar pembenar dari penjatuhan penderitaan berupa pidana itu pada penjahat. Negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat tersebut telah melakukan penyerangan dan perkosaan pada hak dan kepentingan hukum yang dilindungi. Maka, ia harus diberikan pidana yang setimpal dengan perbuatan (berupa kejahatan) yang dilakukannya. Setiap kejahatan tidak boleh tidak harus diikuti oleh pidana bagi pembuatnya, tidak dilihat akibat-akibat yang timbul dari penjatuhan pidana itu, tidak memerhatihan masa depan, baik terhadap penjahat maupun masyarakat. Menjatuhkan pidana tidak dimaksudkan untuk mencapai sesuatu yang praktis, tetapi bermaksud satu-satunya penderitaan bagi penjahat.
Tindakan pembalasan di dalam penjatuhan pidana mempunyai dua arah, yaitu:
1.         Ditujukan pada penjahatnya (sudut subjektif dari pembalasan)
2.         Ditujukan untuk memenuhi kepuasan dari perasaan dendam di kalangan masyarakat (sudut objektif dari pembalasan).
Ada beberapa macam dasar atau alasan pertimbangan tentang adanya keharusan untuk diadakannya pembalasan itu, yaitu sebagai berikut.
1.         Pertimbangan dari sudut Ketuhanan
Adanya pandangan dari sudut keagamaan bahwa hukum adalah suatu aturan yang bersumber pada aturan Tuhan yang diturunkan melalui pemerintahan negara sebagai wakil Tuhan di dunia. Oleh karena itu, negara wajib memelihara dan melaksanakan hukum dengan cara setiap pelanggaran terhadap hukum wajib dibalas setimpal dengan pidana bagi pelanggarnya. Keadilan ketuhanan yang dicantumkan dalam undang-undang duniawi harus dihormati dan barang siapa yang melanggar harus dipidana oleh negara selaku wakil Tuhan dengan sekeras-kerasnya. Pandangan ini dianut oleh Thomas van Aquino, Stahl, dan Rambonet.
2.         Pandangan dari sudut etika
Pandangan ini berasal dari Immanuel Kant. Menurut rasio, tiap kejahatan itu haruslah diikuti oleh suatu pidana. Menjatuhkan pidana yang sebagai sesuatu yang dituntut oleh keadilan etis merupakan syarat etika. Pemerintahan negara mempunyai hak untuk menjatuhkan pidana dalam rangka memenuhi keharusan yang dituntut oleh etika tersebut. Penjatuhan pidana ini harus dilakukan meskipun tidak ada manfaat bagi masyarakat maupun yang bersangkutan. Teori ini dikenal dengan de ethische vergeldings theorie.
3.         Pandangan alam pikiran dialektika
Pandangan ini berasal dari Hegel. Menurutnya, pidana harus ada sebagai reaksi dari setiap kejahatan. Hukum atau keadilan merupakan suatu kenyataan. Jika seseorang melakukan kejahatan atau penyerangan terhadap keadilan, berarti ia mengingkari kenyataan adanya hukum. Oleh karena itu, harus diikuti oleh suatu pidana berupa ketidakadilan terhadap pelakunya untuk mengembalikan menjadi suatu keadilan atau kembali tegaknya hukum. Teori ini disebut dengan de dialektische vergeldings theorie.
4.         Pandangan Aesthetica
Menurut Herbart, pandangan ini berpangkal pada pikiran bahwa apabila kejahatan tidak dibalas, maka akan menimbulkan rasa tidak puas pada masyarakat. Agar kepuasan masyarakat dapat dicapai, maka harus dibalas dengan penjatuhan pidana yang setimpal pada penjahat pelakunya. Setimpal artinya pidana harus dirasakan sebagai penderitaan yang sama berat atau besar dengan penderitaan korban atau masyarakat.
5.         Pandangan dari Heymans
Pandangan dalam hal pidana yang berupa pembalasan menurut Heymans didasarkan ada niat pelaku. Ia menyatakan bahwa setiap niat yang tidak bertentangan dengan kesusilaan dapat dan layak diberikan kepuasaan, tetapi niat yang bertentangan dengan kesusilaan tidak perlu diberi kepuasan. Tidak diberi kepuasan ini berupa penderitaan yang adil. Segala sesuatu yang bertentangan dengan kesusilaan tidak boleh dicapai orang. Pandangan ini tidak bersifat membalas apa yang telah terjadi, tetapi penderitaan itu lebih bersifat pencegahan (preventif).
6.         Pandangan dari Kranenburg
Teori ini didasarkan pada asas keseimbangan. Karena ia mengemukakan mengenai pembagian syarat-syarat untuk mendapatkan keuntungan dan kerugian, maka terhadap hukum tiap-tiap anggota masyarakat mempunyai suatu kedudukan yang sederajat. Tetapi, mereka yang sanggup mengadakan syarat istimewa akan juga mendapatkan keuntungan atau kerugian sesuai dengan syarat-syarat yang terlebih dahulu diadakannya. Berdasarkan hal itu, bila seseorang berbuat kejahatan yang berarti ia membuat suatu penderitaan istimewa bagi orang lain, maka sudahlah seimbang bahwa penjahat itu diberi penderitaan istimewa yang besarnya sama dengan penderitaan yang dilakukannya terhadap orang lain.



2.        Teori Relatif
Teori ini berpangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana adalah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu diperlukan pidana.
Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:
1.    Bersifat menakut-nakuti (afschrikking)
2.    Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering)
3.    Bersifat membinasakan (onschadelijk maken)
Sementara itu sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu:
1.    Teori pencegahan umum
Di antara teori pencegahan umum ini, teori pidana yang bersifat menakut-nakuti merupakan teori yang paling lama dianut orang. Menurut teori pencegahan umum ini, pidana yang dijatuhkan pada penjahat ditujukan agar orang-orang (umum) menjadi takut untuk berbuat kejahatan. Penjahat yang dijatuhi pidana ini dijadikan contoh oleh masyarakat agar masyarakat tidak meniru dan melakukan perbuatan yang serupa dengan penjahat itu. 
Penganut teori ini misalnya seneca (romawi), berpandangan bahwa supaya khalak ramai menjadi takut untuk melakukan kejahatan maka perlu dibuat pidana yang ganas dengan eksekusinya yang kejam dilakukan di muka umum. Penjahat yang dipidana ini dijadikan tontonan orang banyak agar semua orang takut untuk berbuat serupa.
Dalam perkembangannya, teori pencegahan umum dengan eksekusi kejam ini banyak ditentang. Menurut Beccaria, hukum pidana harus diatur dalam suatu kodifikasi dan sistematis agar semua orang bisa tahu perbuatan apa yang diancam pidana. Ia juga meminta pidana mati dan penyiksaan yang kejam diganti dengan pidana yang memerhatikan perikemanusiaan, pidana yang dijatuhkan ini jangan sampai melebihi penderitaan yang diakibatkan oleh perbuatan penjahat itu.
Von Feuerbach, yang memperkenalkan teori pencegahan umum yang disebut dengan psychologische zwang, menyatakan bahwa sifat menakut-nakuti dari pidana itu bukan ada penjatuhan pidana inkonkrito, tetapi pada ancaman yang ditulis dalam UU. Ancaman ini harus diketahui khalayak umum dan membuat setiap orang takut melakukan kejahatan. Karena ancaman pidana ini dapat menimbulkan tekanan kejiwaan bagi setiap orang.
Namun teori yang paling maju pada masa itu ini memiliki beberapa kelamahan, antara lain:
a.       Penjahat yang pernah atau beberapa kali melakukan kejahatan dan menjalani pidana, perasaan takut terhadap ancaman pidana itu menjadi tipis bahkan hilang.
b.      Ancaman pidana yang ditetapkan terlebih dahulu itu dapat tidak sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.
c.       Orang-orang  atau penjahat yang picik (bodoh) atau juga yang tidak mengetahui perihal ancaman pidana itu, sifat menakut-nakutinya menjadi lemah atau tidak ada sama sekali.
Karena kelemahan itulah muncul teori pencegahan umum yang menitikberatkan sifat menakut-nakuti itu tidak pada ancaman pidana dalam UU maupun pada eksekusi yang kejam, melainkan pada penjatuhan pidana secara konkret oleh hakim pada penjahat. Menurut Muller, dengan tujuan memberi rasa takut pada penjahat tertentu, hakim diperkenankan menjatuhkan pidana yang beratnya melebihi ancaman pidananya agar para penjahat serupa lainnya menjadi terkejut dan menyadari  perbuatannya dapat dijatuhi pidana berat dan takut melakukan perbuatan serupa.
2.    Teori pencegahan khusus
Menurut teori ini, tujuan pidana adalah mencegah pelaku kejahatan yang telah dipidana agar tidak mengulangi perbuatannya dan mencegah orang yang berniat buruk untuk tidak mewujudkan niatnya itu ke dalam bentuk perbuatan nyata. Tujuan itu dapat dicapai dengan jalan menjatuhkan pidana, yang sifatnya ada tiga macam, yaitu:
a.    Menakut-nakutinya
b.    Memperbaikinya
c.    Membuatnya menjadi tidak berdaya
Maksud menakut-nakuti adalah pidana harus dapat memberi rasa takut bagi orang-orang tertentu yang masih ada rasa takut agar ia tidak lagi mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Akan tetapi, ada juga orang-orang tertentu yang tidak lagi merasa takut untuk mengulangi kejahatan yang dilakukannya. Pidana yang dijatuhkan terhadap orang-orang seperti ini haruslah bersifat memperbaikinya. Sementara itu, orang-orang yang ternyata tidak dapat lagi diperbaiki, pidana yang dijatuhkan terhadapnya haruslah bersifat membuatnya menjadi tidak berdaya atau bersifat membinasakan.
Van Hamel berpandangan bahwa pencegahan umum dan pembalasan tidak boleh dijadikan tujuan dan alasan penjatuhan pidana, tetapi pembalasan itu akan timbul dengan sendirinya sebagai akibat dari pidana dan bukan sebab dari adanya pidana.

3.        Teori Gabungan
Teori ini mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan asas pertahanan tata tertib masyarakat. Dengan kata lain dua alasan itu menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu:
a.         Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan
Teori ini didukung oleh Pompe, yang berpandangan bahwa pidana tiada lain adalah pembalasan pada penjahat, tetapi juga bertujuan untuk mempertahankan tata tertib hukum agar kepentingan umum dapat diselamatkan dan terjamin dari kejahatan. Pidana yang besifat pembalasan itu dapat dibenarkan apabila bermanfaat bagi pertahanan tata tertib (hukum) masyarakat.
Zevenbergen berpandangan bahwa makna setiap pidana adalah suatu pembalasan, tetapi mempunyai maksud melindungi tata tertib hukum sebab pidana itu adalah mengembalikan dan mempertahankan ketaatan ada hukum dan pemerintahan.  Pidana baru dijatuhkan jika memang tidak ada jalan lain untuk mempertahankan tata tertib hukum itu.
b.         Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat
Menurut simons, dasar primer pidana adalah pencegahan umum, dasar sekundernya adalah pencegahan khusus. Pidana terutama ditujukan pada pencegahan umum yang terletak pada ancaman pidananya dalam UU. Apabila hal ini tidak cukup kuat dan tidak efektif dalam hal pencegahan umum itu, maka barulah diadakan pencegahan khusus yang terletak dalam hal menakut-nakuti, memperbaiki, dan membuat tidak berdayanya penjahat. Dalam hal ini perlu diingat bahwa pidana yang dijatuhkan harus sesuai dengan hukum dari masyarakat.
Menurut Thomas Aquino, dasar pidana ialah kesejahteraan umum. Untuk adanya pidana, harus ada kesalahan pada pelaku perbuatan, dan kesalahan itu hanya terdapat pada perbuatan-perbuatan yang dilakukan dengan sukarela. Pidana yang dijatuhkan pada orang yang melakukan dengan sukarela inilah bersifat pembalasan. Sifat membalas pidana adalah sifat umum pidana, tetapi bukan tujuan dari pidana sebab tujuan pidana pada hakikatnya adalah perlindungan tata tertib masyarakat.

JENIS-JENIS PIDANA

Pidana merupakan penderitaan yang sengaja dibebankan negara kepada seseorang yang hendak melanggar larangan. Pidana itu sebagai reaksi atas delik yang dijatuhkan dan harus berdasarkan pada vonis hakim melalui sidang peradilan atas terbuktinya perbuatan pidana yang dilakukan. Adapun mengenai bentuk pidana yang dijatuhkan utamanya mengacu pada KUHP. Namun untuk hukum pidana khusus, ternyata ada perluasan atau penambahan bentuk atau jenis pidana di luar termaktub dalam KUHP.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah menetapkan jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Jenis-jenis pidana tersebut yaitu:
a.    Pidana Pokok
1.Pidana mati
2.Pidana penjara
3.Pidana kurungan
4.Pidana denda                                                                                                                                     b. Pidana Tambahan
1.Pencabutan hak-hak tertentu
2.Perampasan barang-barang tertentu
3.Pengumuman putusan hakim.

Dengan demikian, hakim tidak diperbolehkan menjatuhkan hukuman selain yang dirumuskan dalam Pasal 10 KUHP. Dalam kesempatan kali ini, penulis akan fokus menjelaskan jenis pidana pokok saja. Penjelasannya adalah sebagai berikut.

1.    Pidana Mati
Penerapan pidana mati dalam praktik sering menimbulkan perdebatan antara yang setuju dan yang tidak. Bagaimanapun pendapat yang tidak setuju adanya pidana mati, namun kenyataan yuridis formal pidana mati memang dibenarkan.
Pidana ini adalah yang terberat dari semua pidana yang dicantumkan terhadap berbagai kejahatan yang sangat berat. Ada beberapa pasal dalam KUHP yang berisi ancaman pidana mati, antara lain:
a.         Makar membunuh kepala negara (pasal 104)
b.        Pembunuhan berencana (pasal 340)
c.         Mengajak negara asing guna menyerang Indonesia (pasal 111 ayat 2)
d.        Memberi pertolongan kepada musuh waktu Indonesia dalam perang (pasal 124 ayat 3)
e.         Membunuh kepala negara sahabat (pasal 140 ayat 1)
f.         Pemerasan dengan pemberatan (pasal 368 ayat 2)
g.        Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan, pada waktu malam atau dengan jalan membongkar dan sebagainya, yang menjadikan ada orang terluka berat atau mati (Pasal 365 ayat 4)
Di luar KUHP, pidana mati sering dijatuhkan terhadap pelaku tindak pidana subversi (Undang-undang Nomor 11/PnPs/1963) dan pelaku tindak pidana narkotika (Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976).
Dasar pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu menurut Penetapan Presiden (PENPRES) tanggal 27 April 1964 LN Tahun 1964 bahwan pelaksanaan pidana mati di Indonesia dilakukan oleh regu tembak dengan menembak terpidana sampai mati.

2.    Pidana Penjara
Pidana ini membatasi kemerdekaan atau kebebasan seseorang, yaitu berupa hukuman penjara dan kurungan. Hukuman penjara lebih berat dari kurungan karena diancamkan terhadap berbagai kejahatan. Adapun kurungan lebih ringan karena diancamkan terhadap pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena kelalaian.(Leden marpaung, 2008:108).
Hukuman penjara minimum satu hari dan maksimum seumur hidup. Hal ini diatur dalam pasal 12 KUHP yang berbunyi:
(1) Pidana penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.
(2) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.
(3) Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turutdalam hal yang pidananya Hakim boleh memilih antara Pidana Mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu atau antar pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dapat dilampaui karena pembarengan (concursus), pengulangan (residive) atau karena yang telah ditentukan dalam pasal 52 KUHP.
(4) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh lebih dari dua puluh tahun.


3. Pidana Kurungan
Pidana kurungan lebih ringan dari pidana penjara. Lebih ringan antara lain, dalam hal melakukan pekerjaan yang diwajibkan dan kebolehan membawa peralatan yang dibutuhkan terhukum sehari-hari, misalnya: tempat tidur, selimut, dll. Lamanya pidana kurungan ini ditentukan dalam pasal 18 KUHP yang berbunyi :
(1). Lamanya pidana kurungan sekurang-kurangnya satu hari dan paling lama satu tahun.
(2). Hukuman tersebut dapat dijatuhkan untuk paling lama satu tahun empat bulan jika ada pemberatan pidana yang disebabkan karena gabungan kejahatan atau pengulangan, atau ketentuan pada pasal 52 dan 52 a.

  Dalam beberapa hal, pidana kurungan adalah sama dengan pidana penjara, yaitu:
(1)   Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak.
(2)   Mengenal maksimum umum, maksimum khusus, dan minimum umum, tapi tidak mengenal minimum khusus, maksimum umum pidana penjara 15 tahun yang karna alasan-alasan tertentu dapat diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan. Minimum umum pidana penjara maupun kurungan sama 1 hari. Sedangkan maksimum khusus disebutkan pada setiap rumusan tindak pidana tertentu sendiri-sendiri, yang tidak sama bagi semua tindak pidana, bergantung dari pertimbangan berat ringannya tindak pidana yang bersangkutan.
(3)   Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untu menjalankan (bekerja) pekerjaan tertentu, walaupun untuk narapidana kurungan lebih ringan dibanding narapidana penjara.
(4)   Tempat menjalani pidana penjara adalah sama dengan tempat menjalani pidana kurungan, walaupun ada sedikit perbedaan yaitu harus dipisah (pasal 28).
(5)   Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku, apabila terpidana tidak ditahan, yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai kekuatan tetap) dijalankan/ dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan mengeksekusi dengan cara melakukan tindakan paksa memasukkan terpidana ke dalam lembaga pemasyarakatan.

Adapun perbedaan perbedaan pidana penjara dan pidana kurungan menurut, adalah :
(1) Pidana kurungan dijatuhkan pada kejahatan-kejahatan culpa, pidana penjara dijatuhkan untuk kejahatan-kejahatan dolus dan culpa.
(2)  Pidana kurungan ada dua macam yaitu kurungan principal dan subsidair (pengganti denda), pada pidana penjara tidak mengenal hal ini.
(3)   Pidana bersyarat tidak terdapat dalam pidana kurungan.
(4)   Perbedaan berat ringan pemidanaan.
(5)   Perbedaan berat ringannya pekerjaan yang dilakukan terpidana.
(6)   Orang yang dipidana kurungan mempunyai hak pistole, hak memperbaiki keadaannya dalam lembaga pemasyarakatan atas biaya sendiri yang pada pidana penjara ini tidak ada.

4. Pidana Denda
Hukuman denda selain diancamkan pada pelaku pelanggaran juga diancamkan terhadap kejahatan yang adakalanya sebagai alternative atau kumulatif. Jumlah yang dapat dikenakan pada hukuman denda ditentukan minimum dua puluh sen, sedang jumlah maksimum, tidak ada ketentuan. Mengenai hukuman denda diatur dalam pasal 30 KUHP, yang berbunyi:
(1)   Jumlah hukuman denda sekurang-kurangnya dua puluh lima sen.
(2)    Jika dijatuhkan hukuman denda dan denda itu tidak dibayar maka diganti dengan hukuman kurungan.
(3)   Lamanya hukuman kurungan pengganti hukuman denda sekurang-kurangnya satu hari dan selama-lamanya enam bulan.
(4)   Dalam putusan hakim, lamanya itu ditetapkan begitu rupa, bahwa harga setengah rupiah atau kurang, diganti dengan satu hari, buat harga lebih tinggi bagi tiap-tiap setengah rupiah gantinya tidak lebih dari satu hari, akhirnya sisanya yang tak cukup, gantinya setengah rupiah juga.
(5)   Hukuman kurungan itu boleh dijatuhkan selama-lamanya delapan bulan dalam hal-hal jumlah tertinggi denda itu ditambah karena ada gabungan kejahatan, karena mengulangi kejahatan atau karena ketentuan pasal 52 dan 52a.
(6)   Hukuman kurungan tidak boleh sekali-kali lebih dari delapan bulan.

Pidana denda tersebut dapat dibayar siapa saja. Artinya, baik keluarga atau kenalan dapat melunasinya.



Daftar Referensi
1. Ruba’i, Masruchin. 1994. Mengenal Pidana  dan Pemidanaan di Indonesia. Malang: IKIP Malang
2. Waluyo, Bambang. 2004. Pidana dan Pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika





 


 

No comments:

Post a Comment